Penulis : Arif Rahman
Mantan Ketua KAMMI Mataram,
Direktur Ruang Demokrasi Indonesia
Lalu Muhammad Iqbal nama yang saya kenal saat memulai perjuangan aktivisme di Jakarta awal 2022.
Pada mulanya saya pikir sebagai seorang diplomat yang ditugaskan Presiden sebagai Duta Besar Indonesia untuk Turki ia pasti tidak punya waktu untuk sekedar membalas WA proletar atau 'Korea' seperti saya.
Iqbal juga tidak punya kepentingan apapun untuk menyapa seorang aktivis daerah yang jauh dari jangkauannya di Turki. Toh saya bukan anak bupati, gubernur atau pejabat politik manapun.
Namun hipotesis itu salah besar, Iqbal dengan ramah menyapa lewat pesan WA "Saya sedang di Turki ini dik, nanti kita jumpa kalo di Jakarta ya".
Balasan itu membuat saya tertegun sekaligus kagum ternyata pejabat yang berkuasa penuh ini merupakan pribadi yang humble dan tidak segan menyapa rakyat kecil.
Untuk bertemu dengannya tidak perlu menggunakan birokrasi yang bertele-tele, surat menyurat dan segala macam keruwetannya.
Sebuah antitesa yang selama ini menjadi gaya khas birokrat yang kerapkali menyulitkan bukan malah memudahkan.
2 tahun pasca itu saya mendengar Iqbal memutuskan diri pulang kampung dan maju sebagai calon Gubernur NTB melawan petahana Zul dan Rohmi.
Keputusan ini terbilang nekad mengingat namanya belum sepopuler Zul, Rohmi dan tokoh politik lainnya yang sudah lama mencapkan kuku kekuasaannya di NTB.
Berbagai survei yang dilakukan LSI dan lembaga lainnnya juga awalnya menempatkan Iqbal di posisi paling buncit dalam hal elektabilitas.
Tak pelak hasil itu membuat lawan politiknya mulai meremehkan Iqbal sekaligus memicu adrenalin politiknya menggeliat.
Iqbal terus menyapa masyarakat dari pintu ke pintu, dusun ke dusun, desa ke desa di seantero NTB. Hasilnya cukup menggembirakan bahkan melebihi ekspektasi.
Dalam survei yang digelar LSI pada 16-24 Juli 2024 nama Iqbal bertengger di klasemen teratas dengan 22,4 ℅ disusul Zul 21,5℅ dan Rohmi 21℅.
Melihat survei ini saya tak heran jika Iqbal bisa menggusur petahana sekelas Zul dan Rohmi. Sebab ia punya modal penting dalam membangun NTB yakni gaya komunikasi yang membumi.
Kunci itulah yang membuat Iqbal saya pikir bisa diterima oleh semua kalangan.
Kekaguman saya terhadap sosok Iqbal semakin bertambah tatkala ia memilih wakilnya bernama Dinda. Bupati Bima 2 periode berdarah Dompu yang pemberani itu.
Ia mungkin merupakan kepala daerah pertama dan terakhir di Pulau Sumbawa yang berani melawan politik yang dipersepsikan sebagai dunia 'laki-laki'.
Pemilihan Iqbal terhadap Dinda juga menjadi kebanggaan dan penghargaan yang luar biasa bagi saya anak muda Dompu.
Bagaimana tidak selama ini Dompu dalam perhelatan Pilgub hanya jadi penonton. Namun kali ini harapan representasi Dompu bisa terwujud melalui Iqbal-Dinda.
Pilihan politik Iqbal pada Dinda saya rasa bukan hanya menghitung soal rasio kemenangan tapi juga menunjukkan ia adalah pemimpin yang merangkul keragaman.
Komunikasi yang membumi dan merangkul keragaman saya kira menjadi modal utama dalam memimpin NTB yang multikultural dan mendunia. Dan nilai itu saya temukan pada Lalu Muhammad Iqbal.