Incinews.net
Kamis, 20 Juni 2024, 08.04 WIB
Last Updated 2024-06-20T03:04:37Z
HeadlineHMIKAHMIMataramNTB

Melampaui HMI, Lafran Mengemban Indonesia


(Review Singkat Film Lafran Pane)

Film Lafran adalah sebuah epos kepahlawanan sosok intelektual muda Indonesia di Era Kemerdekaan yang merindukan Indonesia seutuhnya. Ia adalah sebuah jejak (trace), sebuah artefak nilai yang mengusung bangunan masa depan bangsa Indonesia melalui HMI yang ia dirikan.

Lafran, jika mengulik pada apa yang di kemudian hari disebut oleh Nurcholis Majid, adalah sosok "psychological striking force" (daya dobrak psikologis). Sosok yang mendobrak psikologi kesadaran ke-Indonesiaan kita untuk tidak saling menafikan, untuk tidak saling meniadakan, untuk tidak saling "mengkafirkan" perbedaan, untuk tidak saling mengagungkan sentimen primordial kelembagaan/keorganisasian/kepartaian, "hanya" oleh karna pebedaan syimbolik tersebut.

Lebih dari itu, sosok yang telah ditahbiskan sebagai salah satu Pahlawan Nasional oleh karna keterlibatannya bersama HMI dalam perjuangan kemerdekaan, kontribusinya bagi pembangunan SDM dan intelektualisme bangsa ini, telah melakukan pelampauan-pelampauan atas pendirian HMI yang "hanya" sekadar sebuah organisasi mahasiswa. 

Seperti halnya penggambaran Bennedict Anderson tentang sebuah "imagined communities", tentang sebuah komunitas yang dibayangkan sebagai satu kesatuan yang kita sebut Bangsa (Indonesia), bagi saya, Lafran Pane berada pada pendasaran ideo-epistemologi yang memiliki "telos" yang hampir --untuk tidak mengatakan kembar identik-- sama 

Lafran "menangisi" sikap puritanjsme, sentimen kelembagaan, ego sektoral kelompok-kelompok, yang justru potensial memecah belah bangsa ini di saat baru saja merdeka, ketika itu. Ia pun beranjak menjauh dengan mendekati cara ber-Indonesia melalui wadah organisasi yang ia dirikan itu.

Komitmen inilah yang kemudian memantik Jenderal Besar Revolusi Sudirman untuk menyalami semangat ke-Indonesiaan organisasi non partisan tersebut 

Lafran sudah meletakkan dasar "Ideologi" bangsa Indonesia melalui HMI. Tapi, bagi saya, ia sendiri tak pernah menginginkan HMI dalam makna an sich sebuah organisasi. Ia mendambakan Indonesia Merdeka seutuhnya yang, melampui batas-batas organisasi, menembus "kejumudan" sekat komunitas-komunitas, menjadi (telos) komunitas yang jauh lebih besar, yang kita bayangkan sebagai sebuah bangsa; Bangsa Indonesia 

Organisasi yang ia dirikan, saat ini sudah menjadi salah satu organisasi terbesar di Nusantara. Tapi kita jangan sampai melupakan semangat pendirinya untuk menjadi Indonesia seutuhnya yang menerima kebhinekaan dalam lanskap "Bineka Tunggal Ika".

Seperti halnya film pada umumnya, tanpa mengurangi substansi sejarah, plot twist perjuangan, kesedihan/kepahitan, humor-humor cerdas penuh kejutan dan haru biru percintaan sang lakon utama menjadi "efek dramatik" yang membumbui pahit-manis alur film.

Malampaui itu semua, film ini sangat layak ditonton oleh semua kalangan, khusunya mahasiswa, generasi millenial dan Gen-Z, sebagai inspirasi dan teladan untuk anak-anak kita di masa depan.

Dan, film ini sebuah terobosan film Indonesia yang tak sekedar melulu splastik tentang drama oercintaan dan cerita horor. Tapi cukup mampu mengulik kisah kepahlawanan anak bangsa kita dengan skenario yang cukup apik dan "kekinian".

Sayangnya, setelah coba meng-googling, hampir tak ada yang me-review film sebagus ini. Saya juga agak kurang bahagia, karna eksklusivisme penayangannya yang, seolah-olah, "hanya" milik HMI. Padahal ia tentang kisah anak bangsa dan kontribusinya bagi Keislaman, Keintelektualan dan Keindonesiaan. Lafran mungkin saja menangisinya. Lahu al-fatihah.

Oleh; ASTAR HADI
Koordinator Presidium MD KAHMI Lombok Tengah