INSAN CITA (inciNews.net) BIMA -
Rimpu merupakan sebuah budaya dalam dimensi busana pada masyarakat Bima Dompu (Suku Mbojo).
Rimpu muncul dikarenakan adanya islamisasi di wilayah Bima yang di syi'arkan oleh para mubaligh dari Gowa pada tahun 1618 M, kemudian yang ikut mengembangkan adalah Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tio yang berasal dari Minang, Sumatera Barat.
Aktivitas penyebaran Islam sampai menyentuh golongan masyarakat secara keseluruhan. Sehingga kerajaan Bima menjelma menjadi kerajaan yang berjiwa Islam (kesultanan). Dengan adanya islamisasi tersebut cara pakaian masyarakat Bima berubah sesuai dengan apa yang telah dianjurkan Islam, yaitu tertutup auratnya yang dikenal dengan sebutan rimpu. Waktu itu Sultan Bima mewajibkan perempuan menutup aurat, sedangkan bagi laki-laki harus sunat. Karena keterbatasan pakaian, masyarakat memanfaatkan sarung Tembe Nggoli untuk menutupi aurat.
Tembe Nggoli adalah Kain yang terbuat dari benang kapas atau katun tersebut memiliki beragam warna yang cerah dan bermotif khas sarung tenun tangan. Bagi Masyarakat suku MBojo, tenun Tembe Nggoli ini merupakan warisan budaya yang hingga kini terus dijaga. Bahkan sebagian besar warga perempuan suku mbojo masih menekuni tradisi menenun sarung Tembe Nggoli, yang diwarisi secara turun temurun.
Teknik menenunnya juga cukup unik, yakni menggunakan alat tenun tradisional Gedogan yang penggunaannya dengan cara dipangku oleh si penenun dengan posisi duduk selonjor.
Rimpu oleh Masyarakat Bima dan Dompu (Suku Mbojo) digunakan sebagai hijab, untuk menutupi bagian atas kepal hingga lutut. Kemudian dipadukan dengan Sanggentu yakni potongan kain untuk menutupi bagian bawah tubuh dari pinggang hingga kaki, seperti sarung pada umumnya.
Bila dipakai oleh wanita yang sudah menikah, rimpu akan menutupi seluruh bagian atas tubuh kecuali wajah, pemakaiannya mirip seperti hijab. Sementara bagi perempuan yang belum menikah, rimpu hanya menyisakan bagian mata, mirip penggunaan cadar.
Rimpu Hijab Syar'i Pakaian adat dari Dompu dan Bima NTB ini, Membuktikan bahwa cadar bukanlah budaya Arab. Sejatinya orang-orang arab terdahulu (jahiliyyah) adalah orang-orang yang senang dengan ketelanjangan (aurat terbuka). Hingga diutusnya seorang manusia mulia, dengan membawa agama dan perintah dari Allah untuk menutupi wanita dengan kain dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Semata - mata hanya untuk memuliakan wanita.
Menurut sejarawan bima Ismail, keberadaan rimpu juga tidak lepas dari upaya pemerintah (masa Sultan Nuruddin) untuk memanfaatkan kain sarung atau kain tenun bima yang sudah lama dikenal bahkan menjadi komoditi perdagangan yang terjual hingga ke negeri Cina.
Sejak saat itu, semua wanita sudah akil balig diwajibkan memakai rimpu apabila hendak bepergian meninggalkan rumah dan keluarganya untuk sesuatu urusan, kalau tidak berarti sudah melanggar hukum agama dan adat pada saat itu. "Hukumnya lebih pada hukuman moral, orang yang melanggar dengan sendirinya akan merasa malu”. Keterangan hilir diperkuat lagi oleh Ghani, dari forum perempuan (forpuan).
Menurutnya, rimpu merupakan bagian dari identitas wanita bima pada masa Islam baru berkembang di Bima. Zaman dulu wanita Bima dengan bangga memakai rimpu untuk menunjukan khayalak bahwa mereka sudah bisa menenun dan kain yang mereka gunakan adalah hasil karya sendiri, dari keterangan pelaku sejarah wanita Bima yang hidup pada masa itu memandang tersingkapnya aurat mereka sebagai aib, siapapun lelaki baik sengaja atau tidak melihat aurat mereka, pria tersebut wajib menikahinya. Dengan tersingkapnya betis saja wanita Zaman dulu sudah merasa malu dan segera minta nikah mereka menganggap itu sebagai pelecehan (aib) terhadap wanita.
Pada puncak rangkaian Festival Tambora tahun 2022, Wakil Gubernur NTB Dr. Ir. Hj. Sitti Rohmi Djalilah, M. Pd., berpesan agar tradisi kearifan lokal harus terus dipertahankan dan dilestarikan.
"Saya mengenakan pakaian adat Rimpu dengan menggunakan Tembe Nggoli, pada acara festival tambora, di Doro Ncanga, Kabupaten Dompu,"kata Ummi Rohmi, di pos 1 lokasi pendakian gunung Tambora.
Menurut cucu pahlawan nasional asal NTB ini, bahwa tradisi Rimpu harus terus dijaga dan dilestarikan untuk mempertahankan kearifan lokal masyarakat Bima dan Dompu.
"Satu icon budaya Indonesia yang harus tetap dijaga dan dilestarikan bersama, bukan oleh orang lain tapi oleh seluruh warga Suku Mbojo,"ujarnya.
Ditegaskan Dr Zulkieflimansyah, Rimpu adalah salah satu tradisi warisan yang harus dipertahankan oleh kalangan generasi saat sekarang. Apalagi dimasa lalu, rimpu ini sudah jadi fashion bagi kaum perempuan diera itu.
"Ketika keluar rumah perempuan selalu memakai rimpu, sebagai pelindung aurat dan tanda-tanda yang sudah menikah atau gadis,"terang Gubernur NTB yang akrab disapa Bang Zul Saat menghadiri acara Festival Rimpu, yang digelar Pemerintah Kota Bima bekerjasama dengan Dekranasda Kota Bima tahun lalu. Dan kegiatan tersebut berhasil pecahkan rekor Muri