Foto: Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Bali Nusa Tenggara (BADKO HMI BALI NUSRA) Rahmat Jayadi Pratama. |
19 aktivis yang ditahan lantaran aksi demontrasi menuntut pemerataan infrastruktur jalan yang ada di Wilayah Kabupaten Bima Kecamatan Donggo- Soromandi. Mereka ditahan dan dipenjara sejak tanggal 31 mei 2023 hingga saat ini dan ditetapkan sebagai tersangka.
"Bebaskan saudara pejuang kami. Mereka bukan penjahat atau koruptor. Mereka menuntut dan menyampaikan aspirasi dan isi hatinya kepada pemerintah dan haknya sebagai warga negara,"tegasnya.
Pembungkaman ini, menurut Rahmat, sangat berbahaya bagi penguatan dan keberadaan demokrasi kita.
"Kita memang bukan demokrasi liberal. Tapi ingat, bahwa demokrasi itu berdasarkan konstitusi. Dan sudah diatur dan dilindungi di pasal 28 UUD 45,"terangnya.
Ia menduga cara-cara pemerintah yang otoritarian tersebut sengaja dipelihara oleh rezim, sehingga gaya-gaya di masa Orba terulang di masa kini.
“Menurut saya cara-cara seperti itu harus ditinggalkan, tidak boleh lagi diterapkan oleh penegak hukum. Pemerintah juga tidak boleh menggunakan cara-cara itu untuk membungkam kritik. Karena pada dasarnya menyampaikan pendapat, kemudian mengkritik pemerintah, kemudian juga berkumpul, berserikat, berdemonstrasi itu semua dijamin dalam konstitusi,” tuturnya.
Peristiwa penangkapan dan penahanan terhadap Aktivis FPR Donggo Soromandi lanjut Rahmad, merupakan model pemerintahan yang diterapkan di masa Orba.
Menurutnya, model pemerintahan yang otoritarian seperti itu harus segera diakhiri dan harus dilawan.
“Model-model di Orde Baru kan begitu, orang tidak boleh mengkritik pemerintah, mengkritik pemerintah adalah hal yang tabu. Kemudian berdemonstrasi dilarang, menyebarkan kritikan kepada pemerintah dianggap makar, dianggap melawan pemerintah, atau dianggap ingin menjatuhkan kewibawaan pemerintah,” sebutnya.
"Itukan biasanya alasan yang digunakan oleh rezim yang otoriter pada zaman orde Baru, nah sekarang tidak boleh ada dijaman demokrasi saat sekarang,"imbuhnya.