Oleh: Adi Fadli (Wakil Rektor 1 UIN Mataram/Peserta AICIS 2023 Offline), dan Fathurrahman (Peserta AICIS 2023 Online/Dosen UIN Mataram)
Indonesia merupakan bangsa yang besar, dan kaya akan segala keistimewaan. Kaya dengan kebudayaan, adat, bahasa, suku, dan terdiri dari beragam pulau. Bahkan Indonesia pada posisinya tetap memiliki keistimewaan dibandingkan dengan negara-negara di Dunia yakni telah mengakarnya sikap kebesaran jiwanya menerima perbedaan dengan nilai toleransi.
Tentunya meskipun sikap toleransi telah mengakar lama di Indonesia, namun tetap membutuhkan refreshmen/penyegaran untuk diingatkan kepada generasi muda Indonesia, agar tidak luput dari sejarah perjuangan berdirinya Bangsa oleh founding father nya. Gagasan untuk menguatkan sikap toleransi kepada seluruh penjuru bangsa Indonesia sebagai wujud jihad demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Sebuah untaian kalimat yang shahih diperdengarkan sebagai pesan kebangsaan oleh Bung Karno kepada generasi muda Indonesia " JAS MERAH! Jangan sekali-kali melupakan sejarah". Kalimat demikian perlu memiliki ruang tersendiri dalam setiap pemikiran, dan jiwa masyarakat Indonesia agar tidak cepat terpapar dengan penyakit kufur atas kekayaan nikmat bangsanya sendiri, dan terhindar dari sifat lebih mengagungkan kebudayaan negara lain dibanding negara sendiri. Konteks ini tentu relate (nyambung) dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang demikian kompleks masalah yang dihadapi, termasuk berkaitan dengan isu politik identitas, munculnya ustadz-ustadz yang cepat menjastifikasi orang lain kafir jika berbeda pemahamannya dengan dirinya, serta tidak jarang generasi muda kita belajar ilmu agama melalui youtube, kemudian menerimanya secara buntu dengan anggapan "ini paling benar" sehingga hal demikian dapat mengaburkan sedikit demi sedikit kecintaannya terhadap NKRI, dan Pancasila yang telah lama digagas.
Hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian daripada iman) merupakan spirit yang disampaikan oleh Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy'ari ketika masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sehingga spirit itu sampai menjadi kobaran api semangat resolusi jihad 22 Oktober 1945. Ini juga penting kita terus suarakan kepada generasi muda Indonesia secara khusus, maupun seluruh masyarakat Indonesia secara umumnya agar semakin cinta terhadap bangsanya sendiri.
Dari sekian banyaknya persoalan yang terjadi di negara Indonesia, yang menjadi tantangan serius bangsa kita secara jelas di depan mata adalah pemahaman konsep hukum agama yang cenderung mandek tekstualis (hadlarah an nash), penggunaan politik identitas dengan mengatasnamakan klaim agama sebagai mobilitas massa politik yang kemudian mengancam integrasi bangsa Indonesia, belum lagi tentang terkikisnya sikap kemanusiaan yang berkeadilan.
Persoalan yang sedemikian kompleksnya tidak bisa hanya dilakukan dengan cara one man show atau superman (seorang diri), melainkan butuk kolektifitas dan kesadaran bersama (super team) dengan visi yang sama untuk mepertahankan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Logika sederhana adalah setiap orang memiliki dua tangan, begitupun orang lain sama-sama memiliki dua tangan. Jika kedua tangan itu secara bersamaan kita gabungkan untuk memperbaiki serta menjaga keutuhan bangsa Indonesia, makan Indonesia akan tetap kokoh dan jaya. Namun jika sebaliknya, kedua tangan itu kita gabungkan untuk merusak bangsa ini, maka dalam jangka sekejap bangsa ini akan hancur luluh lantah.
Inilah yang menjadi pandangan penulis terhadap adanya Surabaya Charter (Piagam Surabaya) yang dirumuskan dalam agenda Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2023 di Surabaya. Agenda AICIS 2023 yang mengangkat tema "Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace".
Secara pandangan penulis, menilai bahwa sangat tepat untuk merespon dinamika yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Terdapat enam gagasan yang dirangkum sebagai Surabaya Charter itu telah menjadi formulasi untuk Indonesia menghadapi dinamika sosial kemasyarakatan saat ini, terlebih Indonesia telah memasuki tahun politik untuk 2024 mendatang.
Enam gagasan tersebut diantaranya adalah; Pertama, rekontekstualisasi semua doktrin, dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan.
Kedua, menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih.
Ketiga, definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
Keempat, enafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain Muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua.
Kelima, menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras.
Keenam, memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan dan keadilan beragama.
Mengutip kalimat yang disampaikan oleh KH. Yahya Cholil Staquf selaku pembicara tamu dalam AICIS 2023 dan juga Ketua Umum PBNU yakni "Ada kebutuhan real untuk rekontekstualisasi fikih. Karena fikih merupakan produk pemahaman, sedangkan syariat adalah sesuatu yang paradigmatik paten. Prinsipnya bahwa fikih menjadi wacana terhadap praktik pelaksanaan syariat itu sendiri."
Dari penjelasan di atas tentu bagaimanapun hukum fikih harus terus mengalami perkembangan cara pandang terhadap konteks dan realitas kedisinian untuk merespon persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Gagasan demikianlah yang secara pandangan penulis menjadi dasar lahirnya Charter Surabaya, yang diantara pada poin-poin yang membahas tentang rekontekstualisasi pemahaman fikih lama menjadi pemahaman yang lebih kontektual.
Gagasan dalam Surabaya Charter di atas harus kita dukung sebagai reformulasi terhadap cara kita untuk mengantisipasi gejolak dan dinamika serius terhadap bangsa kita Indonesia.