Foto: Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima Ma’rif. |
insan cita (incinews) Bima - Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima Ma’rif mendesak pemerintah menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) jagung (HPPJ), menyusul anjloknya hasil tani jenis jagung semakin hari semakin menurun dan memprihatinkan sekali nasib petani.
"Panen raya jagung di Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB) selama April diperkirakan hingga Agustus 2022 mendatang, petani memanen hasil produksinya di bawah bayang-bayang kekhawatiran, di sejumlah kawasan Bima, terus merosot jatuh saat panen raya berlangsung. Kondisi tersebut, membuat petani setempat merugi," katanya. Senin (2/4/2022).
Kondisi itu, Sambung ia, kian diperparah dengan harga beli jagung ditingkat petani justru anjlok. "Untuk jagung dengan kadar air (KA 17) persen, harga beli di tingkat petani hanya sekitar Rp.4.400 - Rp.4.500 per kilo, sementara harga beli di industri gudang sebesar Rp.4.750 - Rp.4800 per kilo gram, kemudian usai lebaran atau Idul Fitri ini harga jagung digudang turun sampai diangka kisaran Rp.4.300, Rp.4.600 - sampai Rp.4.700,"ungkap moris.
Lebih lanjut Moris, Di tengah situasi pandemi yang membuat perekonomian melambat, dan harga berbagai barang kebutuhan melonjak tinggi, harga jagung malah anjlok, kondisi petani jagung yang sementara panen raya sungguh memprihatinkan.
“Harga akan mulai turun karena masuk panen raya dimulai awal Mei usai lebaran. Sekarang sudah mulai sedikit-sedikit. Harga akan kembali ke seperti harga acuan sesuai Permendag (Permendag No. 7/2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen),”terangnya.
Dalam Permendag tersebut, harga acuan pembelian jagung di tingkat petani setiap kilogramnya adalah adalah Rp2.500 (kadar air 35%), Rp2.750 (kadar air 30%), Rp2.850 (kadar air 25%), Rp2.050 (kadar air 20%), dan Rp3.150 (kadar air 15%).
"Sementara harga acuan di tingkat konsumen hanya berlaku satu kategori, kadar air 17% ditetapkan Rp.4.850 per kg,"terangnya.
Pemuda yang juga Politisi Muda Partai GERINDRA tersebut, menilai Harga jagung tahun ini, akan berbeda dibandingkan tahun lalu. Tahun lalu harga tinggi akibat anomali perilaku pabrikan pakan ternak. Yang berlomba-lomba membeli dan mengisi stoknya. Berapa pun dibeli.
"Prediksi saya, tahun ini pabrikan tidak akan melakukan hal serupa. Sehingga harga akan kembali ke posisi seperti tahun 2019, atau turun jadi seperti harga di Permendag. Belum lagi, akibat keterbatasan silo dan pengering milik petani dan pabrik, akan berdampak pada kualitas dan kadar air jagung,"paparnya.
Melihat kenyataan ini, Ma’rif atau tokoh muda yang lebih dikenal dengan Bung Moris Ambalawi kembali menegaskan mendesak pemerintah untuk menetapkan harga pembelian pemerintah komoditas jagung di tingkat petani, "sebagaimana HPP gabah selama ini,"sebutnya.
Pihaknya optimis jika HPP ini bisa diterapkan, petani jagung di Bima bahkan Indonesia akan bergairah, bisa mendorong posisi menjadi produsen jagung 5 terbesar di dunia, yang saat ini masih di posisi 8 setelah Amerika, Cina, Brazil, India, argentina, Ukraina dan Meksiko. Dengan asumsi tingkat produktivitas petani jagung kita dikisaran 6 ton per hektare, maka petani hanya akan mendapatkan hasil penjualan sebesar Rp13.000 per hektarenya. Itu pun per hektarenya dikelola 4 sampai 5 petani. Biaya yang dikeluarkan per hektare jagung adalah sebesar Rp10.000 yang berasal dari biaya benih Rp1.800.000 sampai Rp2.000.000, pupuk Rp130.000 sampai Rp200.000 persak, herbisida Rp580.000, insektisida Rp500.000, upah kerja dll.
Selain soal HPP jagung, pihaknya juga menyorot soal peran Kementerian Pertanian dan Pemprov NTB dalam mendorong petani jagung menerapkan Good Agricultre Practces (GAP) dan Good Handling Practices (GHP).
“Kami berharap pemerintah mengabulkannya sehingga produktivitas komoditas jagung petani bisa meningkat dari rata-rata 6 ton/ ha menjadi 8 ton/ha,” tutupnya.