M. Zakiy Mubarok
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri 1947. Tepatnya, 5 Februari 1947 di Yogyakarta. Inisiatornya, Lafran Pane bersama beberapa orang mahasiswa. Detik-detik deklarasi berdirinya, tak dibalut seremonial yang istimewa. Hanya memanfaatkan waktu diantara perkuliahan yang ada. Seizin pengajar kuliah filsafatnya kala itu, Lafran Pane berdiri di depan ruang kuliah dan menyatakan bahwa hari itu telah berdiri HMI. Tapi itulah ajaibnya, meski deklarasinya "tak istimewa", namun HMI eksis hingga hari ini. Tidak hanya itu, sudah sangat banyak tokoh bangsa lahir dari rahimnya yang berkontribusi bagi negara tak terkira.
Lahir dari spirit keindonesiaan dan keislaman, HMI terus mengawal nasionalisme dan menjaga spiritualisme keislaman. Saat lahir, ide mempertahankan kemerdekaan yang berbarengan dengan syiar keagamaan sangat kuat. Bangsa dan ummat, bagi HMI bukan dua entitas yang berhadap-hadapan. Melainkan satu kesatuan. Karena itu, bagi HMI, masalah bangsa adalah masalah ummat, masalah ummat adalah masalah bangsa. Begitupun jika bicara potensi keduanya.
Tapi juga harus diakui, dalam perjalanannya, aktivisme HMI juga tak luput dari kritik dan sorotan. Terhadap hal ini, saran saya ada baiknya jika hal itu disikapi secara proposional. Tak harus ditolak, tapi juga jangan diterima apa adanya. Sejauh objektif, kritik tetap dibutuhkan untuk langkah perbaikan, agar HMI makin tampil sesuai perkembangan peradaban yang berbasis keadaban.
Dalam perspektif institusi, usia 75 tahun bukan lah usia senja. Tapi usia dimana penanaman pengalaman kesejarahan telah makin dalam dan kuat. Fondasi yang akan mengantarkan organisasi mahasiswa ini makin sensitif terhadap persoalan kebangsaan dan keummatan. Makin mampu beradaptasi dengan perubahan zaman yang terjadi. Mulai dari pencapaian ilmu pengetahuan yang tertinggi, hingga kemahiran dalam berteknologi.
Disinilah pentingnya, kader HMI memahami tentang arti dan makna perubahan. Diantara kita mungkin pernah membaca atau mendengar, bahwa perubahan adalah kesadaran tentang masa lalu, sekaligus proyeksi akan masa depan. Jika kita bersepakat dengan pengertian perubahan yang demikian, maka kita harus bersepakat pula, bahwa kesadaran harus senantiasa kita hadirkan setiap saat.
Kualitas insan cita yang menjadi tujuan HMI tak akan sulit untuk melakukan dua hal itu, kesadaran sekaligus proyeksi. Karena sejatinya, insan cita adalah insan intelektual dan berkebudayaan. Kesadaran inilah yang menggerakan sejarah kearah kebaikan, atau kepada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Manusia berkebudayaan, tak ingin hidupnya hari ini sama, apalagi lebih buruk dari hari kemarin.
Karena itu, jangan pernah berpikir angka 75 adalah usia senja bagi HMI yang tinggal menunggu saatnya terbenam. Angka 75 adalah penyebutan nominal untuk mengukur apa yang belum dan apa yang sudah dilakukan.
Apakah kader HMI sudah berkontribusi untuk masyarakat, ummat dan bangsa? Jawabannya ada pada apakah kader HMI konsisten dengan visi dan misinya yang diimplementasikan dengan berpegang pada pedoman perkaderan. Wallahu'allambishawab.
Penulis adalah Sekretaris Umum Majelis Wilayah KAHMI NTB