insan cita (incinews), Mataram- Akibat prilaku hakim dalam penanganan perkara, Advokat, Konsultan Hukum dan Bantuan Hukum Edan Law, resmi melaporkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram, ke Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Aduan itu bernomor : 147/Edan Law/X/2021, ditujukan kepada Ketua Badan Pengawasan Mahkamah Agung Jalan Jenderal Ahmad Yani Kav.58 ByPass Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat dan Pimpinan Komisi Yudisial Jalan Kramat Raya No.57 Jakarta Pusat.
Advokat, Konsultan Hukum dan Bantuan Hukum Edan Law, Sumardhan menyampaikan dasar melaporkan PTUN karena dirinya sebagai kuasa hukum Nur Ainun Susanti dkk, telah mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram terdaftar dalam perkara Nomor 24/G/2021/PTUN.Mtr, tanggal 15 Juli 2021.
Dimana, proses penanganan perkara ini dinilainya aneh karena selalu ditangani oleh Hakim yang sama baik dalam perkara terdahulu dalam perkara No.11/G/2021/PTUN.Mtr maupun dalam Nomor 24/G/2021/PTUN.Mtr, kecuali hanya berganti Panitera saja, apakah tidak ada Hakim yang lain?.
Dalam persidangan diduga terdapat keganjilan karena pada saat pembuktian surat yang diajukan Penggugat pada tanggal 23 September 2021 dan pembuktian surat tergugat pada tanggal 30 September 2021 ditengarainya selalu yang menyidangkan hanya hakim tunggal atau hanya satu Hakim anggota saja sedangkan Ketua Majelis dan anggota yang lainnya tidak ada.
Hal ini menurutnya diduga melanggar Pasal 68 ayat 3 UU No.5 tahun 1986, pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dalam persidangan di pimpin oleh Hakim Ketua Sidang. Pasal 70 (1), untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum.
Pasal 80, demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak didalam sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.
Sidang tanggal 14 Oktober 2021, selaku Kuasa Hukum Penggugat dan salah satu Kliennya bernama Nur Ainun Susanti atau penggugat II dan Kuasa hukum tergugat ll Intervensi telah hadir di persidangan pada pukul 11.30 Wita beserta Ketua DPRD Kabupaten Sumbawa Barat dengan maksud akan dijadikan sebagai saksi. Ternyata persidangan telah ditunda dengan dihadiri oleh satu pihak yaitu Tergugat saja dan ketika semua pihak sudah lengkap, sebagai Kuasa Hukum penggugat telah meminta agar sidang dibuka kembali akan tetapi Hakim melalui panitera menyatakan bahwa sidang sudah ditunda dengan alasan hukum yang tidak jelas.
Baginya, tindakan Hakim yang menunda persidangan pada pukul 11 Wita dengan
tanpa dihadir para pihak yaitu Kuasa Hukum Penggugat dan Kuasa Hukum Tergugat II Intervensi diduga melanggar jam kerja sebagaimana Surat Edaran No.09 Tahun 2021, Jam kerja ASN dari Jam 8-15, Pengaturan jam Kerja Dalam Tatanan Normal Baru Pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Dibawahnya dan melanggar azas peradilan cepat sederhana.
"Kondisi ini sebenarnya tak sejalan dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman: peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Apalagi keadaan sekarang kami dari Malang dengan susah payah datang dari jauh karena protokoler covid 19," ungkapnya Kamis, (21/10/2021) di Mataram.
Menurutnya, tindakan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram jelas melanggar hukum sehingga harus diperiksa dan diberikan sanksi tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Berdasarkan uraian tersebut, selaku Kuasa Hukum Penggugat memohon kepada Ketua Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Ketua Kornisi Yudisial agar memeriksa Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram dalam perkara No.24/G/2021/PTUN.Mtr dengan memberikan sanksi tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Terkait laporan itu, Humas sekaligus Majelis Hakim PTUN Mataram, Reza Adyatama, mempersilahkan kuasa hukum itu melapor, karena merupakan hak para pihak untuk menyampaikan laporan ketika menurutnya ada yang tidak sesuai dalam prosedur pelayanan.
"Intinya itu hak para pihak, silahkan kalau memang disinyalir ada pelanggaran ataupun mungkin bisa dibilang suap pun, pelanggaran kode etik itu silahkan itu hak para pihak. Itu semua konteks para pihak baik penggugat mau tergugat atau interfensi itu hak mereka, di kamipun sudah terbuka jadi katakan nanti kalau memang ada para pihak yang mungkin dikecewakan oleh para ada alur proses penanganan penangguhan,"terangnya.
Perihal adanya keberatan penundaan sidang pihaknya kembali menegaskan, PTUN sudah terbuka, PTUN juga ada alur proses pengaduan, sehingga mempersilahkan melalui proses tersebut.
"Penundaan sidang saat itu agenda pembuktian surat dan bukti, ditunda itu alasan macam, jika salah satu pihak tidak hadir bisa juga ditunda. Saat itu diterima pihak tergugat, sedangkan pihak penggugat dan intervensi belum ada, sehingga kita tunda," tegasnya.
Yang jelas, kalau ada informasi sebelumnya terkait keterlibatan, kalaupun telat pasti ditunggu. Hanya saja, saat itu, tidak ada konfirmasi.
Hari Kamis (21/10/2021) pemeriksaan surat dan pemeriksaan saksi dari para pihak, karena hari sudah dihadiri oleh para pihak penggugat tergugat dan interpensi. Reza menyebutkan persidangan sebelumnya dari majelis sudah memberikan kesempatan untuk persidangan hari ini adalah pembuktian surat para pihak dan saksi.
"Kamis minggu kemarin itu ditunda alasannya memberikan kesempatan para pihak untuk memberikan bukti surat atau saksi yang hadir. Minggu depan acaranya kesimpulan, jadi hari ini tadi majelis sudah memberikan kesempatan apakah masih ada bukti surat atau saksi ternyata para pihak sudah menyatakan cukup jadi Kamis depan tgl 28 Oktober adalah kesimpulan," tutup Reza.
Lebih lanjut, Advokat, Konsultan Hukum dan Bantuan Hukum Edan Law kembali mamaparkan, obyek yang disengketakan adalah tanah seluas 10 ribu meter persegi, di wilayah Kota Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang dikuasai oleh Hajjah Normah Sanapiah melawan tiga saudaranya yakni, Prof Abdul Aziz Sanapiah, Nur Ainun Susanti dan A. Maula Sanapiah selalu pihak penggugat.
Namun, perkara sejak tahun 2013, seharusnya tanah yang benar adalah seluas kurang lebih 15 ribu meter persegi.
"Jika melihat itu, artinya, tergugat dua intervensi yakni, Hajjah Normah masih ragu. Sebab, dari sejumlah perkara dari Pengadilan Agama (PA) Taliwang, PT Mataram dan Mahkamah Agung (MA), Hajjah Normah kalah terus," tegas Sumardhan.
Sementara itu, Nur Ainun Susanti mengaku, ragu atas terbitnya sertifikat tanah ahli waris Nomor 29 tahun 1974 pada Hajjah Normah.
Hal ini, lantaran tiga saudara lainnya. Termasuk dirinya, tengah bersekolah ke luar KSB. "Ini aneh, kakak saya (Hajjah Normah) yang tinggal sendiri di KSB dan berstatus masih gadis, justru punya sertifikat diatas tanah warisan orang tua itu. Padahal, kita enggak pernah kumpul dan berembuk dengan saudara lainnya untuk membagi warisan tanah itu," kata dia.
Ainun pun mempertanyakan dasar hukum terbitnya novum pada tanah yang disertifikatkan oleh BPN KSB tanpa ada persetujuan tiga saudara lainnya. Padahal, dari sejumlah perkara baik, dari PA Taliwang, PT TUN Surabaya dan MA sudah jelas jika tanah warisan itu tidak bisa dikuasai mutlak oleh Hajjah Normah.
"Inilah dasar kita ajukan gugatan ke PTUN, untuk membatalkan sertifikat yang sudah dibuat oleh BPN KSB. Apalagi, tiga saudara lainnya siap untuk dibagi dan berembuk bersama tanah warisan itu asalkan jangan sampai tanah warisan itu jatuh ke pihak lain diluar keluarganya," ungkap dia.
Ainun menambahkan, jika merujuk sengketa persidangan, maka seharusnya jika perkara masih disidangkan tidak boleh pihak BPN menerbitkan sertifikat atas tanah.
"Kecuali jika ingkrah, silahkan. Makanya kenapa kita ajukan gugatan ke PTUN Mataram agar sertifikat pada Hajjah Normah dibatalkan," tandasnya. (Red)