Oleh: Salman Faris
(sudut pandang budaya, bukan politik)
Saya menulis karena amat kesal terhadap cara berpolitik orang Sasak
Sekadar mengingatkan bagaimana rumitnya cara orang Sasak berpolitik. Konstelasi kerumitan yang amat susah ditemukan benang merah kedewasaan politik yang disebabkan oleh arus kehendak kuasa yang tidak dibarengi kearifan menyadari diri dan komunitas (baca bangsa Sasak). Tidak pula diikati kebijaksanaan serta kebajikan meletakkan perjuangan politik Sasak sebagai payung derap. Selapuk melet, selapuk beridap tao dan amat sedikit yang bersedia menjadi arang untuk tungku api perjuangan politik kebangsaan (Sasak). Namun begitulah, demokrasi Barat yang diadopsi ini memang tak ada hubungkait dengan kearifan lokal. Segalanya soal pertarungan dan kehendak kuasa.
Aroma “kelenik” politik Pilkada Kota Mataram tahun 2020 ini sedikit banyak menyerupai asap dupa pada tahun 2005. Ada empat pasangan calon pada riuh rendah politik lima belas tahun yang lalu. Ridwan Hidayat-Willgo Zainar, Lalu Bakri-Ari Wiryawan Harun Al Rasyid, Joko Prayitno-Prajendra, dan Muhammad Ruslan-Ahyar Abduh. Kesamaannya setidaknya dapat dilihat dari adanya petahana, terdapat unsur perwakilan keagamaan, representasi etnik, dan tentu saja birokrat. Namun apakah hasil dan situasi kebatinan kedua Pilkada tersebut sama? Itulah yang akan saya coba telisik secara sederhana dengan pendekatan budaya.
Dalam aturan Pilkada, sudah pasti tidak ada aturan yang membenarkan polarisasi pemilih ini sebab pasti bertentangan dengan Pancasila dan berpotensi menimbulkan konflik. Namun dalam realitas, sering sekali hukum Pilkada tidak dijumpai bahkan bisa jadi ditemukan kontradiksi aturan dengan kenyataan. Pada tahun 2005, polarisasi tersebut amat terasa. Pemilih Sasak, pemilih agama, pemilih etnik (Jawa dan Bali), pemilih birokrat, pemilih keturunan, pemilih pendatang, pemilih orang asli, bahkan pemilih dari kaum “tukang pukul” pun direkabentuk sedemikian rupa.
Pilkada kota Mataram tahun 2020, agaknya tidak dapat mengelak dari polarisasi pemilih tersebut. Bahkan bisa jadi, lebih sengit karena, sebagai contoh, jika pada tahun 2005, perwakilan etnik Bali hanya sebagai wakil dari calon yang tidak diunggulkan pada masa itu, namun sekarang ini, ia menjadi calon nomor satu dan termasuk diunggulkan alias dikuatirkan oleh calon unggulan.
Meskipun pada tahun 2005, perwakilan unsur agama berposisi sebagai calon nomor satu sedangkan tahun 2020 ini mereka sebagai wakil, namun konteks keterwakilan agama pada tahun 2005 dengan tahun 2020 ini amat berbeda. Konteks tersebut tidak dapat dilepaskan dari semakin meruncingnya perselisihan ideologi Pancasila dengan mereka yang dinilai radikalis agama.
Untuk lebih jelasnya, saya akan menyederhanakan perwakilan pemilih yang sebenarnya tak ada perubahan sejak Pilkada langsung berlaku di Kota Mataram. Perwakilan tersebut ialah pemilih Sasak, pemilih agama, pemilih Bali. Ketiga latar belakang pemilih inilah sebenarnya arus utama politik di Mataram. Sedangkan jenis pemilih yang mewakili pendatang, birokrat, keturunan, gender, dan kelompok bromocorah sebagai pelengkap. Meskipun dalam situasi tertentu, kelompok mereka ini dapat juga sebagai penentu pemenang. Namun saya tidak akan ulas dalam tulisan ini.
Jika teorinya Pilkada Kota Mataram ialah pertarungan tiga pemilih (Sasak, Agama, Bali), maka kita dapat melihat hubungan ketiga kelompok pemilih ini dengan empat pasangan calon pada tahun 2020 ini. Pasangan H. Mohan Roliskana-TGH. Mujiburahman (seterusnya disebut pasangan nomor 1) sebagai Sasak dan Agama. Kemudian pasangan Hj. Putu Selly Andayani-TGH. Abdul Manan (seterusnya disebut pasangan nomor 2) sebagai Bali dan agama. Selanjutnya pasangan H. L. Makmur Said-Badruttamam Ahda (seterusnya disebut pasangan nomor 3) sebagai Sasak dan Agama. Terakhir pasangan Baihaqi-Baiq Diyah Ratu Ganefi (seterusnya disebut pasangan nomor 4) sebagai Sasak.
Secara spesifik, masing-masing pasangan calon mempunyai hubungan dengan keterwakilan yang lain, misalnya petahana, keturunan, orang asli, birokrat. Akan tetapi saya tak hendak menyinggung yang ini. Melainkan bagaimana pasangan yang bertanding ini memperbutkan pemilih dari kelompok pemilih besar yang dipertarungkan.
Pertama, kita melihat kelompok pemilih Sasak. Dari keempat pasangan calon tersebut, semuanya berlatar belakang Sasak. Bahkan meskipun Selly disebut sebagai keterwakilan pemilih Bali, ia tidak dapat diremehkan dalam kedudukannya sebagai calon yang mewakili pemilih Sasak. Statusnya sebagai hajjah dan beragama Islam menegaskan hubungan batinnya dengan Sasak meskipun secara genetik, ia Bali.
Kedua, kita meneroka kelompok pemilih agama. Ada tiga pasangan yang secara jelas sebagai keterwakilan agama yakni pasangan nomor 1, nomor 2, dan nomor 3. meskipun Ahda tidak tegas mewakili latar belakang keagamaan ini, namun ia tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya sebagai anak Ahyar Abduh yang berlatar belakang agama selain sebagai politisi.
Ketiga, kita menelisik kelompok pemilih Bali. Hanya satu pasangan calon yakni pasangan nomor 2. Lalu di mana kita dapat menemukan logika kemenangan Selly jika terjadi polarisasi pemilih? Saya akan menggunakan teknik simulasi kuantitaf seperti berikut.
Jika dasar perhitungannya bahwa pemilih Sasak sebagi pemilih dengan jumlah terbanyak, maka tidak dapat dihindari keempat pasangan calon akan sama-sama mendapatkan dulang suara dari pemilih Sasak. Taruhlah ada 10 pemilih Sasak dengan pecahan empat, maka sekurang-kurangnya pasangan calon akan mendapatkan 2 suara dari pemilih Sasak dengan berkemungkinan ada pasangan calon yang mendapatkan 3 suara. Untuk pasangan calon yang mendapatkan 4 suara dari pemilih Sasak ini amat kecil sebab masing-masing pasangan calon mempunyai kekuatan yang sama di basis pemilih Sasak. Dalam konteks ini, taruhkah Selly yang hanya mendapatkan 2 suara karena latar belakangnya sebagai Bali, namun setidaknya ia tetap mendapatkan suara meskipun persentasenya paling rendah dari pasangan yang lain.
Seterusnya, kita simulai pemilih kedua terbanyak ialah yang berlatar belakang agama (Islam). Pada isu satu ini, tak dapat dilepaskan dari tiga eksistensi organisasi kemasyarakatan di Mataram, yakni NU, Muhammadiyah, dan NU. Tentu agama lain seperti Hindu dan Kristen tidak boleh disepelekan. Namun sekali lagi, dalam tulisan ini saya tidak singgung. Hanya saja perlu saya ketengahkan yang dukungan NU, Muhammadiyah, dan NW kepada pasangan calon di Pilkada Kota Mataram tidak akan mengubah hasil secara signifikan. Seperti halnya pemilih Sasak, pemilih agama juga dapat dikatakan terjadi pembagian meskipun tidak merata. Sebab peluang pasangan nomor 1 dan nomor 2 cukup besar. Selain sama-sama sebagai Tuan Guru yang memiliki basis yang kuat, tetapi sebagai pembeda dalam hal ini ialah kesolidan partai pengusung pasangan nomor 2 yang sudah teruji banyak berhasil menggerakkan basis keagamaan. Sedangkan Ahda yang diharapkan kuat dalam merebut pemilih agama ini dikendalai oleh ketidaktegasannya dalam menunjukkan latar belakang keterwakilan keagamaan. Dengan begitu, jika kita simulasikan jumlah pemilih agama ini 8, maka pasangan nomor 1 dan 2 berpotensi berbagi sama-sama 3 sedangkan pasangan nomor 3 dan empat sama-sama 1 suara.
Sejauh ini, nampak pasangan nomor 1 masih menang dengan perolehan 6 suara yang disusul oleh pasangan nomor 2 mendapatkan 5 suara. Namun kemenangan besar Selly dapat diperoleh pada pemilih Bali. Sejauh ini, beberapa penganalisis menilai kecenderungan pemilih Bali yang tidak terlalu ideologis. Analisis ini dapat diterima dalam konteks tertentu. Misalnya pada Pilkada tahun 2005 yang justru menumpahkan pilihan kepada bukan pasangan yang berlatar belakang Bali. Namun pada Pilkada 2020 ini, situasi itu akan berlainan. Selain faktor partai yang memang merupakan basis gerakan politik yang kuat, juga disebabkan oleh peluang kembalinya ranah politik Bali di Mataram yang dapat disematkan di pundak Selly. Dengan kata lain, ini ialah momentum yang tak datang dengan mudah dan cepat, maka gerakan politik pemilih Bali berpotensi solid kepada Selly, meskipun tidak dapat dimungkiri juga, pasti dijumpai pemilih Bali yang pragmatis. Akan tetapi hal tersebut tidak akan menggoyahkan kesolidan yang kokoh itu: Selly is the political momentum of the Balinese people.
Jika kita simulasi jumlah pemilih Bali ialah 6, maka merujuk kepada potensi kesolidan yang kuat pemilih Bali tersebut, besar kemungkinan Selly akan mendaptkan 4-5 suara pemiih Bali. Paling kurang ialah 4 suara dan amat kecil kemungkinan memperoleh kurang dari 4 suara. Sisa 2 suara diperebutkan oleh tiga pasangan calon yang lain, namun yang berpotensi mendapatkan sisa suara ini adalah pasangan nomor 1 dan nomor 4. Oleh karena itu, sejauh ini kita menemukan hasil yang membalikkan keadaan. Selly dengan 9 suara dan pasangan nomor 1 mendapatkan 7 suara. Jika pasangan nomor 1 menyapu habis sisa pemilih Bali, hanya mendapatkan jumlah kumulatif 8 suara . Hasil ini menunjukkan yang Selly masih menang.
Apakah potensi kemenangan Selly tidak dapat digoncang? Mari kita lihat. Apabila kita berasumsi pemilih berlatar belakang birokrat berpotensi menambah pundi suara. Maka tidak dapat dilepaskan pertarungan sengit tiga pasangan calon yakni nomor 1, nomor 2, dan nomor 3. Dalam hal ini, Selly masih dapat bertarung dengan kokoh sebab sebagai mantan birokrat, Selly dapat disandingkan dengan Makmur Said yang sempat menjabat Sekda Kota. Bahkan citra birokrat Selly dalam konteks tertentu, lebih menonjol dibandingkan yang lain. Dengan begitu, pemilih birokrat ini berpotensi dibagi rata oleh tiga pasangan calon.
Selain itu, mungkin kita juga berfikir yang petahana memberikan keuntungan. Amat bergantung pada rekam jejak petahana tersebut. Satu sisi, nomor 1 nampak kuat sebagai petahana, namun jangan dilupakan yang Selly juga dapat dihitung sebagai petahan sebab pernah menjadi penjabat Wali Kota Mataram sejak 10 Agustus 2015 s.d. 17 Februari 2016. Selama dalam jabatan tersebut, Selly dinilai berhasil oleh beberapa kalangan. Maknanya, jika kekuatan petahana ini tidak dapat dibagi rata oleh pangsan nomor 1 dan nomor 2, setidak-tidaknya Selly dapat mendulang suara dari sisi petahana ini.
Hal yang sama jika diteroka dari sudut gender. Meskipun isu ini jarang berhasil dalam konteks pertarungan politik di Indonesia, namun jika mempertandingkan perebutan suara pemilih gender antara nomor 2 dengan nomor 4, dapat dilihat dari beberapa segi Selly masih berpotensi mendapatkan suara lebih banyak. Selly sebagai calon walikota sedangkan nomor 4 sebagai wakil walikota, misalnya. Teorinya ialah pada basis pemilih yang lain (selain pemilih Sasak, agama, dan Bali) masing-masing pasangan calon berkekuatan seimbang. Dengan begitu, rumusnya tetap Selly menang karena dia sudah memenangkan pertarungan di episentrum pemilih.
Di atas kertas, dalam landscap budaya, sekali lagi jika terjadi polarisasi pemilih di Pilkada Kota Mataram, Selly menang. Jangan marah jika tulisan ini salah sebab pusat kebenaran hasil Pilkada ialah Tuhan.
Jika betul Selly menang, jangan pula orang Sasak menyesali kemenangan tersebut. Namun kutuklah cara berpolitik orang Sasak yang busuk itu: selapuk mele, selapuk beridap tao, selapuk demen lek julu.
Malaysia, 29/09/2020