Oleh: Rafa (Calon Advokat Ikatan Advokat Indonesia)
Divisi Advokasi
dan Hukum Lembaga Pengembangan Wilayah NTB Kota Bima
Akad nikah putri
wakil ketua DPRD Kota Bima dan ajudan Walikota Bima yang dihadiri Walikota
Bima, H. M. Lutfi, mendapat sorotan masyarakat kota Bima beberapa hari
terakhir. Masyarakat mempersoalkan acara pernikahan yang berlangsung di tengah
imbauan pembatasan sosial dengan kerumunan para hadirin tanpa ada tanda jaga
jarak sosial, menggunakan masker dan lokasi sesuai dengan protokoler kesehatan
dimasa pandemi Covid-19. Media massa maupun media sosial pun menjadi ruang
kritik juga hujatan kepada walikota dan juga wakil ketua DPRD. Tidak sampai
disitu, pihak masyarakat juga melaporkan dugaan pelanggaran walikota kepada kepolisan.
Kebijakan
Pembatasan
Secara yuridis,
kebijakan pembatasan sosial merupakan ketentuan yang diatur dalam UU No. 6
tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Karantina Kesehatan), kemudian pemerintah mengeluarkan ketentuan pelaksana PP
No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka
Percepatan Penanganan Covid-19 (PP PSBB). Bersamaan dengan itu pula,
dikeluarkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Covid-19
Sesuai ketentuan PP PSBB, wilayah yang
diberlakukan PSBB harus mengajukan terlebih dahulu kepada pemerintah pusat,
kemudian dinilai dan ditetapkan oleh menteri kesehatan, sehingga tidak secara
otomatis berlaku. Sedangkan untuk Pemerintah Kota Bima (Pemkot Bima),
menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Kelurahan (PSBK) melalui Perwali No. 24
Tahun 2020 tentang Pedoman PSBK dalam Penanganan Covid-19 di Kota Bima.
Dugaan
Pelanggaran
Sesuai laporan
yang diajukan, adapun dugaan pelanggaran Walikota Bima adalah terkait Pasal
212, 216 dan 218 KUHP, UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 6 tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan serta Perwali yang ditanda tangani oleh walikota
sendiri. Mencermati berbagai ketentuan tersebut, maka tidaklah tepat
penerapannya apabila dikaitkan dengan pelangaran walikota.
Laporan terhadap
dugaan pelanggaran, sah-sah saja dilakukan oleh masyarakat. Namun, secara hukum
pidana, pelanggaran haruslah dikaitkan dengan pandangan delik sesuai dengan
ketentuan. Secara etis, wajar saja masyarakat menilai kehadiran walikota
sebagai bentuk pelanggaran terhadap komitmen pembatasan, namun jika diseret ke
ranah hukum pidana, perbuatan walikota haruslah dihubungkan dengan delik, tidak
bisa sembarangan hanya dengan nafsu ingin memasukan seseorang dalam proses
peradilan pidana tanpa ada dugaan pelanggaran.
Ketentuan Pasal
212, 216 dan 218 KUHP tidaklah tepat diterapkan pada dugaan pelanggaran
walikota, dalam pembacaan pasal haruslah dibaca secara mendalam setiap kata
yang terkandung di dalamnya. Pasal 212 KUHP mengatur: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau
orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan
pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Kemudian Pasal 216 ayat (1): Barang
siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh
pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut
atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja
mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan
ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana
denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Selanjutnya Pasal 218 KUHP: Barang
siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi
setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang,
diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah
Dari uraian
ketentuan tersebut, maka tidak nyambung dengan perbuatan walikota yang
menghadiri acara akad nikah sebagai cakupan Pasal 212, 216 dan Pasal 218.
Sekilas Pasal 216 dapat dikaitkan, namun pasal tersebut harus dibaca sampai
tuntas. Karena harus pula dilihat, ketentuan tersebut mengatur tentang
kekuasaan pejabat pemerintah dalam menjalankan undang-undang.
Jika berpijak
pada ketentuan Perwali, memang telah diatur
pembatasan dalam pernikahan, sebagaimana pada Pasal 12 bahwa penghentian
kegiatan sosial dan budaya dikecualikan untuk kegiatan khitanan, pernikahan dan
pemakaman dan/atautakziah kematian yang tidak diakibatkan Covid-19. Lebih
lanjut ditentukan pelaksanaan kegiatan pernikahan dilaksanakan dengan ketentuan:
dilakukan di KUA dan/atau kantor catatan sipil, dihadiri oleh kalangan terbatas
yaitu keluarga inti, menggunakan masker, meniadakan acara resepsi pernikahan
yang mengundang orang banyak keramian yang mengakibatkan penggumpulan masa dan
menjaga jaga jarak antar pihak yang
hadir. Namun, untuk menyatakan walikota melakukan pelanggaran terhadap perwali
tersebut, maka legalitas perwali tersebut juga harus diuji. Sehingga, secara
hukum, terlalu dini menyatakan pelanggaran apabila tidak diuji secara
administratif.
Ketentuan pidana
dalam UU No. 4 Tahun 1984 (UU Wabah Penyakit Menular), pada Pasal 14 diatur
terhadap barang siapa dengan sengaja menghalangi
pelaksanaan penanggulangan wabah, diancam dengan pidana penjara selamalamanya 1
tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 100 juta rupiah. Dalam UU tersebut
upaya penanggulangan wabah meliputi: a. penyelidikan epidemiologis; b.
pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan
karantina; c. pencegahan dan pengebalan; d. pemusnahan penyebab penyakit; e.
penanganan jenazah akibat wabah; f. penyuluhan kepada masyarakat; g. upaya
penanggulangan lainnya. Dari ketetuan tersebut, perbuatan walikota bisa saja
dikaitkan dengan menghalangi penanggulangan wabah pada aspek pencegaha. Namun,
yang penting diperhatikan adalah pengembangan dari asas “lex specialis derogat lex generali”, yaituasas systematische specialiteit (lex specialis sistematic), dapat
diartikan sebagai kekhususan yang sistematis. Sehingga berdasar asas lexspecialissistematic, ketentuan yang
digunakan adalah bidang yang mengatur lebih khusus, yaitu UU Kekarantinaan
Kesehatan (Taufan, 2020).
Berdasarkan UU
Kekarantinaan Kesehatan, pada Pasal 93 diatur setiap orang yg melanggar
ketentuan kekarantinaan kesehatan melalui upaya menghalang-halangi yg
menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat, termasuk dalam kualifikasi delik
(tindak pidana), ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 1 tahun adan/atau
denda paling banyak 100 juta rupiah. Acara pernikaha itu dapat saja dilihat
sebagai upaya menghalang-halangi kekarantinaan kesehatan, karena pemerintah
pusat telah menentukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Namun,
lagi-lagi diperhatikan, ketentuan PSBB berlaku bagi daerah yang telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Yang perlu
dicermati, delik dalam pasal tersebut merupakan delik materil, yaitu memiliki
akibat kedaruratan kesehatan masyarakat (Taufan, 2020). Untuk sampai pada pasal
tersebut adalah, apabila adanya akibat yang dapat dihubungkan acara pernikahan
tersebut dengan tingginya penyebaran Covid-19 di Kota Bima.Dari pasal tersebut,
bukan hanya soal pelanggaran walikota, tapi pihak penyelenggara kegiatan.
Semuanya harus ditelusuri, mulai dari dasar pemberian izin dan ketentuan
kebijakan pembatasan.
Maka dari itu,
pembacaan semua pasal yang diduga dilakukan pelanggaran haruslah dibaca sampai
tuntas, agar tidak gagal paham dan menyeret semua perbuatan masuk ke dalam
hukum pidana.