"Akibat memburuknya ekonomi dunia setelah Perang Dunia II, para pembuat kebijakan, pemimpin bisnis, dan para akademisi dari seluruh dunia mencari cara-cara untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang ... " (Carl J. Schramm)
Pastinya kita semua prihatin dengan berita mengenai terus bertambahnya jumlah warga yang positif terpapar Covid-19. Terlebih jika mengingat korban nyawa yang diakibatkannya, tak ada hati yang tak terenyuh.
Karena itu, menyelamatkan jiwa atau nyawa kita, keluarga, dan seluruh warga dari ganasnya serangan Covid-19 harus dijadikan prioritas utama dan agenda bersama. Sebab setiap nyawa manusia begitu berharga.
Di tengah Covid-19 yang mengancam dan berpeluang menyerang siapa saja itu, naif rasanya jika masih ada yang beranggapan situasi ini biasa-biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa.
Media massa memberitakan, pemerintah terus berupaya mencegah dan atau mengendalikan pergerakan Covid-19. Sebagian besar warga masyarakat juga telah mematuhi anjuran untuk rajin mencuci tangan, menjaga jarak satu sama lain, menggunakan masker, hingga mengurangi kegiatan di areal publik atau tempat umum (#stay at home) sebagai bagian dari ikhtiar untuk memutus mata rantai penyebarannya.
Potret gerakan perang melawan corona menggema dan terjadi di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Sejumlah pihak menyebut, dampak yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19 layaknya sebuah perang dunia yang menyasar jutaan jiwa, menewaskan ratusan ribu nyawa, dan melumpuhkan ekonomi dunia.
Seperti pernyataan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayor Jenderal Sisriadi. Dia menyatakan, pandemi Covid-19 bukan semata-mata sekadar masalah kesehatan. Melainkan juga menyangkut masalah sosial, politik, dan ekonomi. Ketika permasalahan ekonomi menyentuh masyarakat akar rumput, maka hal itu berkaitan erat dengan masalah "perut" atau kebutuhan pokok.
Oleh sebab itu, selain antisipasi dan pencegahan pada aspek kesehatan masyarakat, pemerintah juga merancang dan menyiapkan skema anggaran untuk melakukan tindakan karitatif yang diperlukan guna meringankan beban warga yang sangat terdampak kehidupan sosial ekonominya akibat pandemi Covid-19.
Kita mengapresiasi gagasan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, melalui Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah, ST, yang menyerukan perlunya gerakan pemberdayaan IKM/UKM NTB. Caranya, dengan membeli dan menggunakan produk lokal. Bersamaan dengan itu, IKM/UKM di daerah ini didorong untuk menyiapkan bahan pokok (sembako), masker, gentong cuci tangan, hand sanitizer dan lain-lain yang berkaitan dengan upaya antisipasi dampak virus Covid-19 yang mematikan itu.
Kalau tidak keliru, menurut Kepala Dinas Koperasi dan UKM NTB, Drs. H. Wirajaya Kusuma, MH., saat ini ada sekitar 48.019 UKM yang tersebar di seluruh NTB yang telah siap memproduksi minyak goreng, minyak kayu putih, hand sanitizer, masker dan lain sebagainya, begitupun produk olahan makanan.
Melalui ketersediaan bahan baku dan bahan kebutuhan masyarakat, yang tidak lagi membeli ke luar daerah tetapi memproduksi sendiri dan membelanjakan sendiri di daerah oleh UKM-UKM yang ada, menurut Kepala Dinas Perindustrian, Nuryanti, SE., ME., memang menjadi target yang hendak dicapai dari program industrialisasi.
Pernyataan dua kepala dinas itu saya kutip dari video pendek 'PRODUK LOKAL NTB #LAWAN COVID19' yang diproduksi oleh Public Relation Command Center (PRCC) Biro Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Provinsi NTB.
Menguatnya komitmen industrialisasi dari Pemerintah Provinsi NTB itu memunculkan secercah harapan dibalik pandemi Covid-19 bagi UKM di daerah ini. Karena itu, semoga saya tidak berlebihan bila mengatakan program industrialisasi menjadi semacam blessing in disguise ditengah pandemi Covid-19 saat ini. Mengapa?
Karena Gubernur NTB selalu mengatakan, bahwa upaya pemenuhan kebutuhan alat pelindung diri (APD) dari Covid-19 (seperti masker dan handsanitizer) serta penyediaan sembako untuk keperluan jaring pengaman sosial (JPS) Gemilang sebagai dampak pembatasan aktivitas atau bekerja di luar rumah, yang sepenuhnya memanfaatkan sumber daya lokal dan UKM NTB itu, sebagai wujud dari industrialisasi.
Dengan cara memanfaatkan sumber daya lokal itu, menurut Gubernur NTB, kreatifitas akan tumbuh dan perekonomian masyarakat akan stabil. Dua aspek yang menjadi indikator dari proses industrialisasi.
Kita juga mencatat, di media sosial miliknya, Gubernur NTB kerap melansir ungkapan, perjalanan panjang selalu harus dimulai dengan langkah pertama. Ungkapan itu semacam pengakuan, bahwa industralisasi yang dimaksud oleh orang nomor satu di NTB itu masih dalam kadar yang (sangat) terbatas dan minimalis dari ide dan pengertian industrialisasi yang kita pahami selama ini.
Kendati demikian, sebagai sebuah konsep, penegasan Gubernur NTB terkait industrialisasi itu, harus diuji di tingkat implementasi. Hal ini untuk memastikan, apakah konsep tersebut benar-benar berjalan sesuai dengan ide yang diharapkan?
Sebab, jika langkah pertama berhasil, maka hal itu menjadi isyarat bahwa masa depan industrialiasi kita (melalui IKM/UKM) yang gemilang akan diraih. Begitupun sebaliknya.
Saya teringat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Joseph Schumpeter. Ekonom yang mengenalkan istilah creative destruction itu mengatakan, semua bisnis (usaha) berdiri di tanah yang runtuh di bawah kakinya. Ketika ekonomi memburuk, tanahnya runtuh lebih cepat dan cara-cara lama berbisnis pun ditantang berubah.
Begitupun dengan industrialisasi yang menjadi program pemerintah provinsi NTB, khususnya di masa pandemi Covid-19. Sejauh yang saya tangkap dari dialog dengan beberapa kawan UKM, prinsipnya mereka sangat merespon positif kebijakan Pemprov NTB itu dengan antusias.
Passion mereka sebagai pengusaha tertantang dengan hal itu. Kalau dalam bahasa pergaulan sehari-hari, mereka sering menegaskan sebagai pengusaha 'Palugada' alias apa loe mau gue ada. Dan seperti itulah sejatinya seorang pengusaha. Antusiasme IKM/UKM yang dijiwai spirit inovasi dan kompetisi inilah yang harus terus dijaga oleh pemerintah daerah. Caranya, sedapat mungkin pemerintah daerah bisa mengawal momentum idustrialisasi saat ini dengan mengawasi prosesnya dari hulu hingga hilir.
Satu diantaranya, pemerintah daerah harus bisa mengantisipasi dan mencegah hadirnya para pemain aktif, yang pasif misi dan visi. Oleh sebab itu, sejumlah pihak yang (mungkin) ditunjuk oleh pemerintah daerah, atau secara sukarela ingin berkontribusi untuk mewujudkan industrialisasi, harus dibekali kemampuan dan keterampilan teknis. Selain yang utama dan pertama adalah pemahaman tentang nilai dan etika bisnis/berusaha yang baik dan benar.
Selain itu, dalam suasana kebersamaan meningkatkan perekonomian di daerah melalui IKM/UKM, pemerintah harus tetap memberikan ruang bagi tumbuhnya iklim yang kompetitif antar IKM/UKM yang berorientasi pada kualitas dan keragaman produk.
Pemerintah juga harus menjamin, rantai distribusi produk dari dan ke masyarakat tidak terkendala oleh aturan dan birokrasi. Dampak dari aturan dan birokrasi yang tidak sehat bisa menghambat proses industrialisasi dapat berlangsung secara fair dan kompetitif.
Industrialisasi di daerah ini juga harus mengedepankan semangat transparansi informasi, dan senantiasa terbuka terhadap beragam masukan serta kritikan masyarakat, dalam kerangka optimalisasi program.
Prinsipnya, "tanah tempat IKM/UKM kita berdiri" jangan sampai runtuh. Dengan demikian, tujuan mengurangi pengangguran serta upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dan berkelanjutan dapat dicapai. Wallahu'alambishawab.