Foto ADV Taufiqurrahman,SH , bersama Presiden Konggres Advokat Indonesia (KAI) ISL , ADV Siti Jamalia Lubis, SH |
Bima,Incinews.Net-
Seluruh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di Indonesia melaksanakan
sidang Perkara Pidana melalui Jarak Jauh atau disebut dengan cara Teleconference.
Hal itu dilaksanakan berdasarkan surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum,
Nomor 379/DJU/PS.00/3/2020, yang dikeluarkan pada tanggal 27 Maret 2020 di jakarta.
Advokat/Pengacara dari Organisasi Konggres Advokat Indonesia
(KAI) ISL, Taufiqurrahman,SH, mengatakan, sidang dengan Cara Video
Teleconference, sesungguhnya tidak memiliki dasar hukum sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum acara
Pidana. Di dalam KUHAP dikenal Sidang dengan Acara pemeriksaan biasa, Acara
pemeriksaan cepat dan Acara pemeriksaan singkat, kemudian pada 3 macam sidang
tersebut, tidak terdapat “Frasa” yang memperbolehkan adanya sidang perkara pidana
dengan Video Teleconference, ungkapnya, Sabtu (11/4).
Dikatakan Pria yang biasa disapa Opick Al- Paradewa ini. Bila mengacu
pada Undang-undang nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Sebagaimana pasal 7, mengenai jenis dan Hirarkis peraturan
perundang-undangan terdiri atas, I, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 194. II,Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. III, Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang. IV, Peraturan Pemerintah. V, Peraturan Presiden. VI, Peraturan Daerah
Provinsi. VII,Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, jelasnya.
Kemudian dalam ilmu hukum terdapat asas “lex superior derogat legi inferior” yang mengatakan bahwa “Hukum
yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang
lebih rendah”.
Jadi kalau rujukan hukum sidang Video Teleconference,
hanya bersandar pada Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum, Nomor
379/DJU/PS.00/3/2020. Maka Sangatlah jauh, bahkan bertentangan dari yang diatur
oleh Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, tegas Opick
Al- Paradewa.
Lebih lanjut disebutkanya, bila alasan dilakukan Sidang Pidana
dengan Video Teleconference, karena memotong laju wabah Virus Corona dan atau
dalam darurat Virus Corona yang masih terus berlangsung sekarang, maka sangat
bisa dibenarkan dilakukan, namun yang dijadikan dasar pelaksanaan bukan Surat
Badan Peradilan Umum, melainkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang
(PERPU), supaya sepadan dengan UU Nomor 8 tahun 1981, terang Pria yang
merupakan Alumni STIH Muhammadiyah Bima ini.
Misalnya ada kelompok aliran Hukum tertentu yang membenarkan
adanya sidang video Teleconferen atau jarak jauh, namun secara subtansi adalah
tatap muka antara Hakim, Jaksa, Penasehat Hukum serta saksi, Korban dan
terdakwa, dianggap sama dengan tatap muka di ruang Pengadilan. Tetapi harus
diketahui dalam mencapai kapastian hukum dan keadilan di indonesia tetap
memakai prosedural, kemudian prosedural wajib tunduk terdahap apa yang telah
berlaku yakni KUHAP. Terang Opick.
Lebih jelas Ia sampaikan, terdapat 3 hal yang dijadikan dasar
alasan lahirnya Peraturan Pemerintah penggantu undang-undang, seperti Pertama, kegentingan
yang memaksa, Kedua, kekosongan Norma Hukum dan Ketiga, bila adanya
pertentangan Norma Hukum. Jadi sebenarnya alasan Wabah Virus Corona yang sedang
melanda indonesia, bisa dikatakan dengan kegentingan memaksa atau keadaan
Darurat, sehingga PERPU memenuhi syarat untuk dapat dikeluarkan oleh Presiden
Indonesia”, katanya.
Taufiqurrahman berharap, dalam masa Virus Corona sekarang,
Peradilan di Indonesia berjalan dengan Normal, namun tetap memperhatikan
ketentuan-ketentuan Pemerintah dan ketentuan yang lebih khusus seperti surat
edaran Sekertaris Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor 1 Tahun 2020 tentang
penyesuaian sistem kerja hakim dan aparatur peradilan dalam upaya pencegahan
penyebaran Covid-19 di lingkungan Mahkamah Agung dan badan Peradilan dibawahnya,
Tutupnya. (red)