Saya baca timeline google, beberapa akun facebook, twitter dan status WhatsApp teman. Di laman timeline google muncul berita: "Pemprov NTB Buang Kesempatan Hemat Anggaran Rp 6,93 Miliar." News Lombok Post tertanggal 21 April 2020.
Penting, menjelaskan posisi minyak goreng ditengah Covid-19 saat ini. Apalagi pemerintah Provinsi NTB memiliki program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Gemilang, sala satunya pengadaan minyak goreng untuk bantuan sosial. Tentu, program ini bersumber dari keuangan pemerintah (APBD) Provinsi NTB.
Untuk mencari titik temu masalah minyak goreng memang agak rumit. Tetapi, pemerintah sudah membuat regulasinya agar seluruh program apapun terkait melawan Covid-19. Regulasi itulah dipakai untuk menjadi dasar pertimbangan dalam kebijakan. Soal program pemerintah harus diawasi, memang seluruh lembaga sosial, masyarakat dan lembaga hukum manapun harus mengawasi dan mengkritisi kebijakan dan program pemerintah sehingga kedepan lebih baik dan transparan.
Karena Minyak goreng sebagai salah satu item dalam paket bantuan sembako JPS Gemilang yang sudah mulai disalurkan sejak Kamis 16 April 2020 lalu. Minyak Goreng tersebut, merupakan hasil produksi sejumlah pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di NTB.
Sebenarnya, sejak tahun 2017 Kementerian Perdagangan (Kemdag) telah mengkaji produksi minyak goreng yang wajib dalam kemasan. Namun, produsen skala Usaha Kecil Menengah (UKM) atau rumah tangga ada pengecualian dan memenuhi ketentuan mulai 1 Januari 2019.
Hal tersebut, diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 09/M-DAG/PER/2/2016 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 80/M-DAG/PER/10/2014 tentang Minyak Goreng Wajib Kemasan. Namun, karena belum ready dan finish untuk produksi, maka Kemdag menunda pemberlakuan minyak goreng wajib kemasan melalui Permendag Nomor 21/M-DAG/PER/3/2015.
Saat ini data yang dirilis Kemendag sendiri per tahun 2020 ini, bahwa: ada 45 perusahaan minyak goreng dengan jumlah pabrik 82 unit di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu baru 15 perusahaan mulai menyiapkan pembangunan pabrik pengemasan. Agar semua produsen minyak goreng curah beralih menjadi kemasan, butuh investasi sekitar Rp 3,2 triliun. Investasi itu dibutuhkan untuk membangun 3.000 unit pabrik pengemasan. Saat ini, baru ada 180 pabrik kemasan dengan kapasitas produksi 14 liter per menit.
Regulasi itu memang tidak ada klausul penetapan harga diberikan kewenangan kepada pemerintah daerah. Maka, kebijakan pemerintah secara nasional telah menetapkan harga minyak goreng berdasarkan regulasi sebelumnya. Sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 96 Tahun 2018 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen, harga acuan penjualan minyak goreng kemasan sederhana.
Namun, pemerintah mengeluarkan tiga regulasi untuk menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan keuangan, terutama di daerah. Karena wabah Covid-19 memiliki speed tinggi menyerang imun tubuh, termasuk masyarakat Provinsi NTB.
Ketiga regulasi tersebut, yakni: pertama, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, kedua, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19 dan ketiga Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19.
Pada Pasal 27 ayat (1) biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Pasal 27 ayat (2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat daerah lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Maka, pemerintah Provinsi NTB memacu stimulus ekonomi NTB yang dilandaskan pada Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur. Tentu dilakukan secara cepat, nyata, responsif agar penggunaan anggaran APBD dalam keadaan transparan. Apalagi, stimulus ekonomi yang diberikan Pemerintah melalui Perppu 1/2020 harus dibarengi dengan kebijakan fiskal dan moneter yang memadai dan sesuai. Termasuk kebijakan fiskal daerah. Bukan masalah hemat anggaran. Kalau ingin hemat anggaran, maka spot kesejahteraan sosial juga harus dipertanyakan. Karena sistem ABPD harus habis terpakai selama masa penganggaran.
Hal ini agar dapat mendorong efisiensi waktu dan efektivitas dari kebijakan tersebut semakin cepat dan nyata dalam penanganan Covid-19. Sekaligus ada skema teknis dan alur distribusi angaran untuk sektor-sektor yang terdampak seperti sektor kesehatan, sosial, ekonomi, dan sektor strategis lain, juga harus dialokasikan dengan data yang valid dan mutakhir untuk masyarakat yang kehilangan mata pencaharian karena Covid-19, sehingga bisa tepat sasaran. Termasuk distribusi minyak goreng yang harus tepat.
Pemerintah tentu memastikan agar harga minyak goreng tetap terjangkau. Pasalnya, minyak goreng merupakan kebutuhan pokok masyarakat, rumah tangga, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kebijakan harga minyak goreng yang dipasok oleh UKM dan IKM NTB untuk program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Gemilang oleh pemerintah Provinsi NTB, sudah sesuai regulasi-regulasi yang ada.
Regulasi harga bisa berdasarkan pada: pertama, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dimana Pemerintah Pusat dan Daerah bertugas kendalikan dan bertanggung jawab atas ketersediaan bahan pangan pokok dan strategis di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360);
Kedua, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5512); Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 60); Keempat, Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 138);
Ditengah Covid-19 ini, berdasarkan regulasi diatas, pemerintah daerah memiliki kekuatan hukum menentukan jumlah anggaran alokasi, harga minyal goreng, distribusi dan pendataannya. Itupun untuk memperkuat kebijakan agar cepat dan tanggap penanganan pandemi Covid-19 ini, tentu pemerintah pusat menyerahkan kepada pemerintah daerah untuk bekerjasama dengan UKM, IKM dan Usaha rumah tangga selama masa pandemi Covid-19.
Dengan demikian, tidak ada masalah apapun, pemerintah daerah mematok harga minyak goreng bagi pelaku usaha, bahkan pemerintah daerah juga bisa memberi sanksi bagi UMKM dan IKM yang melanggar ketentuan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan yang ditentukan Pemprov NTB satu liter seharga Rp 33 ribu. Walaupun jauh diatas harga pasaran, tetapi tidak menjadi masalah dan sudah sesuai dengan regulasi yang ditetapkan.
Persoalan anggaran Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang perlu dihemat bukan menjadi indikator transparansi. Justru ditengah pandemi Covid-19 ini bukanlah menjadi ruang hemat anggaran yang dibilang sebesar Rp 6,93 miliar itu. Kecuali dalam penetapan tidak ada regulasi dalam menentukan jumlah mata anggaran, peruntukan, spesifikasi dan jumlah realisasi, itu baru bisa dikatakan: "tidak transparansi."
Artinya, pembelian minyak goreng seharga Rp 33 ribu per liter, beras 10 kilogram senilai Rp 110.000, telur 10 butir seharga Rp 16.000, ikan kering 1 ons seharga Rp 14.000, susu kedelai/serbat jahe 100 gram senilai Rp 16.500, masker non medis tiga buah senilai Rp 16.500, sabun lokal antiseptik 60 ml/sabun batang senilai Rp 16.000, teh kelor 1 pack (10 sachet) senilai Rp 17.000, dan minyak kayu putih 10 ml/minyak cengkeh senilai Rp 11.000. Total nilai satu paket tersebut Rp 250 ribu. Paket ini disiapkan Pemprov NTB sebagai salah satu paket bantuan Jaring Pengaman Sosial (JPS) Gemilang untuk terdampak pandemi virus Korona di NTB sejumlah 105.000 kepala keluarga. Total anggaran untuk pengadaan paket sembako JPS Gemilang ini Rp 26,250 miliar sebulan. Dengan akan disalurkan selama tiga bulan, maka total anggaran untuk program ini sedikitnya Rp 78,75 miliar.
Sebagaimana Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang tentang Pangan, dan Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal, bahwa: minyak goreng kemasan dari UMKM dan IKM juga harus mengutamakan aspek perlindungan konsumen dengan mencantumkan informasi kadaluwarsa, informasi kehalalan, dan informasi kandungan gizinya.
Pemerintah melalui Kemendag (2020) dalam siaran resminya bahwa: khusus untuk minyak goreng dalam pandemi Covid-19 menyesuaikan kebijakan regulasi pemerintah. Apabila ingin produk minyak goreng lebih higienis, bisa diberikan insentif kepada produsen dari UKM dan IKM. Apabila tidak dibantu insentif, produsen IKM akan kesulitan dalam meningkatkan kualitas produk minyak curah.
Kita juga harus perhatikan kewajiban UKM dan IKM dalam produksi minyak goreng lebih higienis dan dijual dalam kemasan, tentu berdampak pada biaya, harga, dan tenaga kerjanya. Selain itu, produsen harus membeli tambahan alat hingga mendaftarkan produk untuk mendapatkan sertifikasi pangan yang tidak murah.
Dengan demikian, kebijakan Pemvrop NTB membeli dengan harga tinggi sebesar Rp33.000 dibanding HET (Harga Eceran Tertinggi), yakni Rp 11 ribu per liter hingga Rp 15 ribu. Tentu, komitmen menyehatkan ekonomi masyarakat, sudah pasti Pemvrop harus zero fungsi yakni regulasi dan pemberdayaan kepada produsen minyak goreng.
Jika harga pasaran, maka kondisi ditengah Covid-19 ini, akan menyulitkan produsen minyak goreng IKM yang tidak mampu bersaing. Kalau nggak ada insentif sama saja akan mematikan UMKM tapi menyehatkan pengusaha besar. Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan amanat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 bahwa: pemerintah harus memberikan akses pasar, pembinaan dan pelatihan serta akses keuangan seluas-luasnya kepada UMKM.
Kita selayaknya berpandangan positif, bahwa Pemvrop NTB serius menghadapai wabah Covid-19. Untuk itu sudah waktunya diakhiri polemik Minyak Goreng diruang publik yang sangat dibutuhkan masyarakat saat ini. Jangan sampai kontraproduktif, sementara laju Covid-19 semakin cepat menyebar. Semua komponen masyarakat harus satu kata, kompak dan bersama dengan harapan mampu melawan Covid-19.
Menurut Gubernur NTB, Dr H Zulkieflimansyah (2020) sendiri, saat mengunjungi pusat UMKM yang memproduksi minyak goreng, bahwa: tak heran jika harga minyak goreng tersebut sedikit lebih mahal dibanding dengan minyak goreng pabrikan yang ada di pasaran. Maka, untuk memastikan kualitas produknya baik dan siap memenuhi kebutuhan. Minyak goreng dalam paket JPS Gemilang ini diproduksi UMKM kita, sehingga memang harganya sedikit lebih mahal dari yang pabrikan. Karena memang konsep JPS Gemilang ini dari UMKM untuk masyarakat kecil penerima. Diharapkan JPS Gemilang bukan hanya bermanfaat membantu 105 ribu keluarga penerima semata. Tetapi sekaligus menggeliatkan sektor UMKM di NTB, di mana saat ini merupakan saat yang sulit dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Gubernur NTB, Dr. Zulkieflimansyah juga menyebutkan: kalau beli produk lokal lebih mahal itu bukan karena mau korupsi atau mark up harga. Tapi bagaimana menghargai learning, pembelajaran, akumulasi pengalaman dan kemampuan, sehingga produk minyak goreng dari UMKM ini bisa berproduksi. Tujuan pembagian JPS Gemilang bukan semata-mata membagi sembakonya tapi juga untuk menggeliatkan ekonomi dengan memberdayakan UMKM lokal.
Lagi pula, katanya: jangan bandingkan harga minyak goreng kita dengan minyak goreng dari perusahaan raksasa itu ya jelas kalah jauh kita. Tapi lihat sisi lainnya, aspek manfaat ekonomi bagi UMKM kita yang tentu juga sangat terdampak dengan pandemi ini. Untuk pengadaan dan penentuan harga produk UMKM ini pihaknya sejak awal telah berdiskusi dengan Kepolisian, Kejaksaan, BPK, BPKP, Inspektorat untuk memastikan bahwa barang produk lokal pasti lebih mahal dan kualitasnya pasti kalah dengan produk dari pemain yang sudah mapan.
Tentu sangat benar apa yang Gubernur NTB, Dr. Zulkieflimansyah ungkapkan: "tidak akan mungkin UMKM kita akan bersaing dengan perusahaan - perusahaan besar dalam hal harga dan kualitas. Peralatan kita ala kadarnya. Tapi Insya Allah akan ada learning by doing, akan ada masukan, penyempurnaan dan lainnya, sehingga lambat laun kualitas dan harganya akan mampu bersaing."
Memang fungsi pemerintah yang berkolaborasi bersama masyarakat tidak dibuat bingung dan resah dalam kondisi saat ini. Perlu menyatukan persepsi, dimana bahasa hukum bisa dimaknai banyak pendapat. Beri kesempatan kepada Pemerintah untuk menjalankan mandat regulasi yang telah ditentukan untuk menjalankan peran fungsi pemerintahan. Namun begitu, tidak ada sebuah kebijakan yang mampu mengakomodasi seluruh keinginan masyarakat.
Gubernur NTB, Dr. Zulkieflimansyah juga mengingatkan bahwa: "menghargai pembelajaran dan pengalaman inilah produk-produk kita jadi lebih mahal. Kalau teman-teman melihat ada yang mark-up untuk kepentingan pribadi atau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan apalagi mengharapkan fee dari pekerjaan-pekerjaan seperti ini, segera Polisi dan Kejaksaan menangkapnya."
Harapan semua komponen bergerak bersama apa yang perlu diperbuat dengan sebuah kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah sebagai pemegang mandat amanah penyelenggara negara. Kita sadar betul bahwa disana sini ada sisi menguntungkan dan sisi merugikan, ada kekuatan sekaligus kelemahan, ada peluang sekaligus tantangan. Kita tenggelamkan hal-hal yang merugikan atau negatif dan kita blow-up hal-hal yang menguntungkan atau positif.
Karena sangat positif apa yang diungkapkan oleh Gubernur NTB, Dr. Zulkieflimansyah, bahwa: "sengaja membeli produk lokal lebih mahal bukan karena nggak mengerti ada produk lain dari luar yang lebih murah, tapi kami sekali lagi menghargai pembelajaran. Karena teori apapun tentang industrialisasi semua akan mengalami hal yang sama. Produk awal lebih mahal, kualitas kurang, tapi seiring berjalannya waktu akan ada masukan, kritikan sehingga lambat laut hasilnya akan lebih baik dan sempurna. Perjalanan panjang, selalu harus dimulai dengan langkah pertama."
Kita sadar betul bahwa sebuah kebijakan pasti ada implikasi atau risiko yang tidak bisa dihindari dan harus dihadapi, maka suka atau tidak suka harus dikelola. Percayalah, Pandemi Covid-19 ini sudah pasti akan berakhir.
Penulis: Rusdianto Samawa, Teluk Saleh Institute (TSI), Menulis dari Zona Merah Labuhan Bontong, Kabupaten Sumbawa, NTB