Oleh : Arifudin,S.H,
selaku Direktur I . Lembaga Bantuan Hukum (LBH) “Yustisio”
Opini- Pendapat ini tidak
bermaksud memperpanjang polemik dan tidak pula dimaksudkan untuk membela
siapapun. Hanya saja saya merasa tertarik ikut membahas diskursus tentang
kunker yang dikaitkan dengan keberadaan Pasal 71 (3) UU 10/2016 "UU
Pilkada". Pendapat ini sekaligus mencoba menjawab pertanyaan beberapa
kawan menurut pemahaman pribadi saya sendiri.
Sesungguhnya, ending dari larangan yg diatur dalam ayat 1, 2,
dan 3 pasal 71 tersebut yaitu terhindarnya Paslon dari konsekuensi yang ditentukan
oleh ayat 5 pasal yang sama yakni "Pembatalan Pasangan Calon” pada
pencalonannya dalam Pilkada.
Lalu apakah Bupati Bima yang kebetulan bakal calon dapat dikenai
sanksi pembatalan sebagai pasangan calon ? Karena diduga menggunakan
kewenangannya memanfaatkan program dan kegiatan dalam posisinya sebagai kepala
daerah, oleh karena adanya klausul larangan sebagaimana ketentuan pasal 71 ayat
3 UU Pilkada, khususnya kalimat " 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan
pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih."
Menurut saya “Belum Bisa” ditindak dengan pasal itu. Mengingat
saat ini belum ada yang dapat disebut sebagai "Pasangan Calon". Sebab
muatan ayat 3 itu jelas, ditujukan kepada Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang
dilarang menggunakan kewenangan, program, kegiatan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu Pasangan Calon, sekali lagi "Pasangan Calon".
Artinya perbuatan Kepala Daerah dan Wakilnya itu harus menguntungkan atau
merugikan salah satu Pasangan Calon. Bukan kepada Bakal Calon seperti saat
sekarang ini, dimana mereka yang mendeklarasikan diri maju masih dalam posisi
sebagai Bakal Calon.
Ketentuan dalam pasal itu sebetulnya berlaku pula bagi Kepala
Daerah yang tidak mencalonkan diri atau maju dalam Pilkada. Hanya saja konteks
ke Pasangan Calon.
Bahkan, untuk dapat Diawasi oleh Penyelenggara yang
berkewenangan pun jika mengenai Kunker itu, hanya terbatas pada memberikan
himbauan-himbauan ansich. Karena untuk dapat diawasi para Bakal Calon itu,
menurut saya setidak-tidaknya mereka sudah positif menjadi Bakal Pasangan Calon
(Bapaslon). Apa maksudnya? Bapaslon yaitu "WNI yang diusulkan oleh parpol
atau gabungan parpol atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar di
KPU/KIP Kab/Kota untuk mengikuti pemilihan." Sebagaimana dimaksud pada
Pasal 1 angka 18 Peraturan KPU No. 18 Thn 2019 tentang perubahan Kedua Peraturan
KPU No. 3 Thn 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Semoga tak salah, bahwa setahu saya hingga tulisan ini dibuat
Pilkada Serentak 2020 khusus di Kabupaten Bima, belum satupun dari sekian
banyak nama figur yang muncul dapat dikatagorikan sebagai Bapaslon, sebagaimana
dimaksud Pasal 1 angka 18 apalagi untuk dapat disebut Paslon, menurut Pasal 1
angka 19 PKPU 18/2019.
Untuk mengetahuinya sederhana, coba dilihat dan amati dari
sekian banyak figur yang muncul. Siapa saja yang positif dan betul- betul telah
mendapatkan dan memegang rekomendasi dari Parpol atau Gabungan Parpol untuk
maju mencalonkan diri dalam pemilihan Kepala Daerah 2020 ? Berapa Pasang figur ?
Dari sini saja kita bisa simpulkan bahwa yang menjadi Bapaslon pun belum ada kepastian,
apalagi bicara Paslon.
Saya hendak bertanya: Dapatkah logika pasal 71 ayat (5)
"Pembatalan sebagai Pasangan Calon" ditegakkan dalam situasi Bapaslon
pun belum ada? Kalo iya, oleh siapa dan mana landasan yuridis normatif nya?
Karena itu kembali ke konteks larangan dan konsekuensi dari
pasal 71, Pertama,
saya memahami larangan itu berlaku ketika dlm logika Paslon dan hanya
Paslon-lah yang dapat dibatalkan dari pencalonannya menurut pasal 71 (5),
ketika melakukan pelanggaran atas ayat Pasal 71 ayat (1) (2) dan ayat
(3). Kedua,
saat ini yang dapat dilakukan oleh penyelenggara yang punya domain pengawasan,
hanya terbatas pada menghimbau jikalau didepan terdapat rambu-rambu pasal 71
bagi kepala daerah yang sedang menjabat juga sekaligus bakal calon, sementara
kewenangan menindak belum dapat dilakukan seiring tahapan dan program Pilkada
2020 belum sampai pada pengusulan pasangan dan pendaftaran Bapaslon. Ketiga mestinya
polemik kunker ini lebih tepat jika diawasi oleh Legislatif jika ada indikasi
penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh Kepala Daerah dengan misalnya
menggunakan instrumen kedewanan menyurati Kemendagri sekiranya terdapat program
pemerintah yang disalahgunakan.