"Menteri KKP melempar ide dan gagasan kebijakan panas antara dua kelompok: Nelayan Tangkap Benih Lobster dan Pembudidaya Lobster. Tulisan ini akan menjelaskan genealogi, plasma inti dan solusi untuk membantu menteri. Jangan ciptakan sumbuh api perlawanan baru. Bikin regulasi dengan hati, tulus, ikhlas, dan objektif tanpa kepentingan kelompok tertentu."
Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Asosiasi Lobster Indonesia (ALI)
Persfektif sejarah dinamika lobster, belum ada peran pelaku budidaya di Indonesia. Sejarah itu dibuktikan oleh munculnya nelayan Lobster diberbagai daerah pesisir secara simultan dan menjamur. Arus penangkapan memunculkan persaingan usaha lebih keras hingga menciptakan kelompok-kelompok sendiri. Bahkan, tataran tertinggi, permainan benih Lobster dikatrol dari luar negeri.
Investasi luar negeri masuk Indonesia secara besar - besaran dan menjanjikan. Transaksi di Indonesia, di desa-desa tempat pengepul benih Lobster memakai dollar, bukan rupiah lagi. Uang dollar itu biasanya directnya selundupan bersamaan tukar menikar Benih Lobster.
Hal itu terjadi setelah ada pelarangan oleh Menteri KKP era sebelumnya. Konon, secara subjektif karena persaingan bisnisnya kalah sehingga mengeluarkan kebijakan pelarangan. Dinamika regulasi larangan itu selama 4 tahun sangat luar biasa. Semua kelompok nelayan Lobster saling tangkap.
Tentu menyita perhatian masyarakat luas. Penangkapan oleh aparat pun tak kenal strata sosial. Terkadang tindakan aparat karena "stop kontak atau knop ada di pengusaha" agar menangkap nelayan yang tidak mensuplay benur kepada kelompok mereka.
Ketika masalah ini dimunculkan, terjadi polarisasi persaingan kelompok, seperti api dalam sekam. Kalau regulasi direvisi dengan sistem terbuka ke publik melalui beberapa tahapan: tentu diharapkan regulasi itu bisa mengayomi.
Regulasi lobster revisi ini seperti batubata dibasahi bensin, lalu dibakar, kemudian dilepari dan akibatnya semua orang merasa panas. Isu dominan kelompok inipun sudah menggelinding menyasar kepentingan pembudidaya dan nelayan tangkap benih lobster. Perdebatan pun terjadi bahkan saling memperkuat koordinasi antar kelompok.
Berharap sekali, kebijakan revisi atau pencabutan Peraturan Menteri Lobster ini jangan sampai mengembalikan masa kegelapan 5 tahun ini. Harus ada persfektif populis dan baru sehingga bisa objektif, independen, dan tanpa memberi ruang kepada kelompok tertentu untuk dominan.
Revisi permen Lobster ini, seperti peperangan kelompok pasukan Bratayudha. Yang muncul pun bukan pengusaha Indonesia, tetapi yang perang mencengkeram itu pengusaha China dan Vietnam. Berharap kepada Menteri Edhy Prabowo, jangan sampai disetir oleh kepentingan asing sehingga pengambilan kebijakan bisa menjadi lebih independen.
Meninjau dinamika kebijakan, Menteri Kelautan dan Perikanan Periode (2014-2019) melarang ekspor benih lobster. Alasannya, menjaga eksistensi makhluk hidup tersebut di perairan Indonesia. Sebab benih lobster masih dihasilkan dari tangkapan di laut. Namun Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo akan terus mengubah substansinya agar bisa mengizinkan ekspor benih lobster.
Tentu, kebijakan Menteri Edhy Prabowo memiliki ekspektasi yang berjangka dan apalagi memiliki hitung-hitungan tersendiri terhadap pola distribusi dan keuntungannya. Kalau taraf kebijakan tidak terintegrasi antara penangkapan benih lobster dengan budidaya. Maka, kedepan akan sulit sekali berkembang.
Tulisan ini mengingatkan seluruh kelompok nelayan Lobster. Jangan ada yang saling menerkam antar sesama anak bangsa. Jangan mau disetir oleh kelompok neoliberal dari negara lain untuk mengambil dan menangkap benih Lobster di Indonesia.
Penangkapan terhadap nelayan, pengusaha dan pengepul Benih Lobster sangat tidak objektif, baik terhadap hukum maupun sosial ekonomi. Bayangkan, nelayan, pengusaha dan pengepul atas perbuatannya dianggap menyelundup, mereka pasti tersangka dengan jeratan Pasal 88 Jo Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Mereka juga terancam pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak puluhan hingga ratusan miliar.
Negara-negara seperti Singapore dan Vietnam merupakan negara importir terbesar untuk komoditi benih lobster dari Indonesia. Benih-benih ini dibudidayakan di Vietnam, lalu di ekspor kembali setelah berukuran dewasa dengan nilai yang berkali lipat lebih tinggi. Budidaya lobster di Vietnam dimulai sejak tahun 1992 di Kota Nha Trang Provinsi Khanh Hoa dan telah menyebar di provinsi lainnya, terutama di Provinsi Phu Yen dan Ninh Thuan dan terus berkembang hingga saat ini.
Praktik penyelundupan benih lobster dari Indonesia ke luar negeri hingga saat ini diduga kuat masih terus terjadi. Praktik ilegal itu terus akan berlangsung selama peraturan belum dicabut, meski Pemerintah terus mengkanalisasi nelayan Lobster.
Kerugian besar yang ditanggung Indonesia atas maraknya penyelundupan benih Lobster tersebut, yakni: 1) potensi penyelundupan benih lobster ada yang tidak telihat jumlahnya yang jauh lebih besar dilakukan oleh kelompok tertentu. Otomatis tidak tercatat oleh negara sebagai bagian dari barang ekspor hasil laut. 2) nilai kerugian negara yang ditimbulkan akibat penyelundupan lebih besar mengingat benih lobster yang lolos jumlah bisa lebih banyak. 3) dugaan ada permainan aparat dan birokrasi pemerintah itu sendiri sehingga Benih Lobster yang sudah ditangkap, lalu diselundupkan lagi. 4) pembelian paling aman oleh para agen asing yang masuk Indonesia, yakni pembelian benih Lobster tersebut ke para aparat dan birokrasi.
Selama pelarangan oleh Menteri KKP periode 2014 - 2019, penyelundupan meningkat dan semakin sulit dibendung. Daerah-daerah yang dianggap sumber penghasil benih lobster untuk penyelundupan, yakni Aceh, Sumbawa, Lombok, Lampung, Jambi, Gorontalo, Sulawesi, NTT, Bengkulu, Kalimantan, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Banyuwangi dan Soekarno-Hatta (DKI Jakarta). Hal ini perlu diungkap kebenarannya oleh pemerintah itu sendiri karena sangat merugikan negara Indonesia. Buntung sekali Indonesia sebagai penghasil Benih Lobster alam terbesar di dunia.
Dengan fakta tersebut, Vietnam menjadi negara beruntung karena harga yang sangat tinggi setelah dibesarkan dinegaranya. Sementara Indonesia, justru merana karena tidak mendapat untung alias buntung, lobster juga semakin terancam populasinya karena terus menerus diselundupkan.
Langkah - langkah yang akan dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan era Susi Pudjiastuti dengan menerbitkan pelarangan penangkapan benih lobster menimbulkan dampak negatif terhadap banyak hal, seperti: pertama: sosial ekonomi, faktanya 10ribu kepala keluarga nelayan Lobster harus menanggung dampak kurangnya pendapatan, ditangkap, dipenjarakan, dan diadili dipengadilan.
Kedua: peraturan KKP itu membuat negara-negara seperti Chija, Singapura dan Vietnam mendapat untung besar dalam bisnis benih Lobster karena benih dari Indonesia, kemudian mereka budidaya, lalu setelah ukuran 6-7 mereka ekspor ke berbagai negara.
Ketiga: peraturan menteri KKP itu berakibat fatal pada proses penegakan hukum dan melanggar kaidah hukum yang berlaku, karena di UU perikanan tak ada pasal yang bisa dipakai, namun pasal-pasal itu banyak dipaksakan dan ditambah pengadilan memakai peraturan menteri yang ada dalam hal lakukan penuntutan terhadap tersangka nelayan Lobster.
Keempat: nelayan Indonesia rugi buntung dan ditangkap, pengusaha buntung sekaligus kolaps, pengepulnya dipenjara dan didenda ratusan miliar. Tetapi, Vietnam untung, Singapore ekspor naik, China sendiri menikmatinya dan rakyat sehat makan benih lobster Indonesia, budidaya besar di Vietnam.
Fakta selama ini, aturan pelarangan penangkapan lobster itu harus direvisi atau dicabut. Sehingga kedepan, pemerintah daerah memiliki inisiatif dan ide berdasarkan ilmu pengetahuan untuk memikirkan daerahnya sendiri. Tentu melalui penerbitan peraturan - peraturan daerah yang selaras dengan peraturan pemerintah pusat: Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai benteng pemanfaatan lobster dan benih lobster.
Sehingga kesempatan revisi ini akan sangat penting untuk mendirikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) oleh pemerintah daerah atau Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menginisiasi lembaga tertentu untuk menghayer hilir mudik investasi benih Lobster.
Sebagai jembatan pemerintah dan sekaligus memberi solusi dalam memfasilitasi para investor lobster yang selama ini mencari peluang masuk Indonesia. BUMD atau Lembaga adhoc yang mengaturnya, sehingga jelas dampaknya pada kesejahteraan masyarakat, terutama nelayan disekitar pesisir. Hal ini, harus menjadi perhatian pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Pusat. Karena masyarakat sendiri sangat banyak yang bergantung hidup dari lobster.
Harapannya, BUMD atau lembaga internal KKP yang mengaturnya dari hulu dan hilir masalah potensi sumber daya benih lobster. Tetapi lebih pada pengembangan teknologi dan pembudidaya sehingga bisa menjadi penghasil ekspor lobster. Dengan cara itu pula, bisa mencegah meningkatnya penyelundupan benih lobster sehingga pemerintah daerah mendapat keuntungan besar dari kegiatan bernilai ekonomi tinggi tersebut.
Bukan tanpa tantangan, justru lebih sulit kedepannya karena kendala paling ribet kalau budidaya lobster yakni pemanfaatan teknologi reproduksi, penyiapan pakan dan antisipasi penyakit yang belum terpecahkan.
Saran ini harus diperhatikan oleh Pemerintah: Daerah Provinsi, Kabupaten dan Desa, karena sektor perikanan lobster membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Bahkan capai ratusan triliun rupiah sehingga diperlukan kesungguhan pemerintah untuk kembangkan destinasi lobster sebagai salah satu komoditas unggulan perikanan yang mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat: nelayan dan pesisir.