Oleh Mahsun
(Guru Besar Linguistik Universitas Mataram dan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2012-2015)
Opini- Dalam acara Mata Najwa, 21 Agustus 2019, dengan tema "Nyala Papua" menarik untuk disimak salah satu pernyataan Gubernur Papua, Lukas Enembe, bahwa dalam pembangunan bangsa Indonesia, "Orang Papua belum di-Indonesia-kan". Sontak saja pernyataan ini membuat Tuan Rumah Mata Najwa, memberondong Pak Gubernur dengan pertanyaan yang meminta klarifikasi maksud pernyataan tersebut. Mungkin, oleh karena waktu cukup terbatas Pak Gubernur belum menjelaskan secara rinci kandungan maksud pernyataannya itu.
Penulis yang sedang membuat artikel ihwal papua yang duduk di depan televisi, langsung saja mengubah topik artikel ini dari judul semula "Papua dan Masalah Keindonesiaan" menjadi "Mengindonesiakan Orang Papua", dengan mengubah konstruksi pernyataan Pak Gubernur dari pasif menajdi aktif. Persoalannya, mengapa orang Papua perlu diindonesiakan? Ada apa dengan Orang Papua? Apakah sudah sekian lama berintegrasi ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi, orang-orang Papua belum menjadi orang Indonesia sehingga perlu dii-Indonesiakan? Kilasan hsitoris berikut ini menarik untuk dipaparkan sebagai pintu masuk menjawab persoalan di atas.
Irian Barat, demikianlah nama yang disematkan Bung Karno pada salah satu bagian wilayah pulau Papua di bagian Barat Papua New Guinea, pada saat wilayah itu melalui refrendum berintegrasi ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun sebutan Irian Barat mulai tak terdengar lagi, seiiring dengan dipenuhinya permintaan masyarakatnya oleh Presiden Gus Dur saat berkunjung ke wilayah itu pada 31 Desember 1999 untuk mengganti nama Irian Barat dengan nama Papua. Nama Papua digunakan pertama kali Gubernur Portugis di Maluku Jorge de Menses pada tahun 1528 pada saat mengunjungi Waigeo di Raja Ampat. Kata itu, di samping digunakan untuk merujuk orang yang menguhuni pulau bercirikan: berkulit hitam dan berambut keriting juga digunakan untuk merujuk pada nama pulau itu sendiri. Istilah Ilhas dos Papua dalam bahasa Portugis berarti Pulau Papua. Nama lain dari Papua adalah Nova/Nueva Guinea atau New Guinea yang berarti Guinea Baru. Nama ini diberikan oleh Inigo Ortiz de Retes yang mampir di Mamberamo dalam perjalanan laut dari Tidore menuju Meksiko tanggal 20 Juni 1545.
Nama itu merujuk pada pantai Guinea di Afrika yang serupa dengannya. Persoalannya, mengapa Bung Karno memberi nama wilayah yang baru masuk ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi itu dengan nama Irian dan mengapa pula warga Irian mengusulkan pada Gus Dur untuk mengembalikan nama Irian itu pada nama asalnya, yaitu Papua?
Apa yang dilakukan Bung Karno, mengganti nama Papua dengan Irian tidak lain adalah upaya menyatukan orang-orang Papua dengan saudara-saudaranya yang lain yang sudah terlebih dahulu berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya secara fisik tetapi juga secara emosional. Ada dua pesan utama yang dikirim Bung Karno melalui penggantian nama Papua menjadi Irian Barat. Pertama, pesan moral, Bung Karno ingin agar integrasi masyarakat Irian ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah integrasi yang benar-benar utuh secara fisik dan emosional, dan terlepas dari ikatan emosional negara bangsa dengan masyarakat negara bangsa yang mendiami bagian timur pulau Papua (Papua New Guinea). Kedua, pesan perjuangan, yaitu pengukuhan akan keberadaannya sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang anti pada kolonialisme Belanda. Hal itu sangat jelas dari makna Irian itu sendiri yang merupakan singkatan dari "Ikut Republik Indonesia Anti Nederland".
Lalu bagaimana dengan pengembalian nama itu dari nama yang diberikan Bung Karno: Irian Barat ke nama asalnya: Papua? Dalam konteks ini telah terjadi peristiwa ahistoris, alih-alih untuk mengatakan kecelakaan sejarah tahap awal, yang terjadi pada masa presiden Republik Indonesia kelima dalam memandang dan menyiasati pembangunan di Papua. Dikatakan demikian, karena pengembalian ke nama semula tidak lalu menyelesaikan masalah, karena melalui nama Papua itu mereka justeru mendapat penguatan dalam meredefinisikan diri sehingga dapat membedakan diri mereka dengan bagian terbesar warga negara Indonesia lainnya dan sekaligus menjadi ikon perjuangan. Maunya dengan menuruti permintaan itu, proses integrasi bangsa tidak lagi memunculkan masalah di kemudian hari, namun sebaliknya penggantian nama Irian Barat menjadi Papua menjadi awal perjalanan masyarakat Papua memantapkan identitas diri sebagai komunitas yang berbeda dengan komunitas Indonesia lainnya. Setelah nama Papua dikukuhkan mengganti nama Irian barat, upaya pembedaan dalam rangka redefinisi diri tidak berhenti sampai di situ. Apabila dengan nama itu, identitas mereka yang ditandai secara fisik (rasial): berkulit hitam dan berambut keriting mendapat pengakuan, maka pengakuan pembeda lainnya mereka terus upayakan, salah satunya melalui pembedaan secara kultural, dalam hal ini melalui budaya dan bahasa.
Upaya awal untuk mempertegas identias yang berbeda secara kultural ini dilakukan melalui media Konferensi Internasional dengan tema induk: "Keberagaman Budaya Papua dalam Mozaik Kebudayaan Indonesia (International Conference on Papuan Cultural Diversity in Mozaik Indonesian Cultures)" yang berlangsung di Jayapura dari 8-11 November 2010. Ada yang menarik dari tema konferensi yang dihadiri oleh pakar budaya, sejarah, bahasa dan arkeologi, serta seni dari berbagai negara tersebut, yaitu munculnya subtema konferensi yang bertentangan dengan tema induknya, yaitu subtema satu: "Papuan Cultural Diversity in its Melanesian Cultural Context: Intangible Cultural Heritage, Living-Cullture, Social Practices, Rituals, Languages, and Performing Arts". Apabila pada halam kulit panduan konferensinya bertuliskan tema keberagaman budaya Papua dalam mozaik kebudayaan Indonesia, maka di bagian isi panduan bertuliskan konsep keberagaman budaya Papua dalam konteks kebudayaan Melanesia.
Penulis sendiri diminta membawa makalah dengan topik: "Diaspora of Melanesians (Languages) in Indonesia: Specifically in NTT, Maluccas, and Papua". Ada dua hal penting yang patut dicatat dari sejumlah rekomendasi yang dihasilkan dari konferensi itu yang erat kaitannya dengan upaya redefinisi diri dan menjadi ikon perjuangan masyarakat Papua ke depan yaitu: (a) Bahasa-bahasa di Papua merupakan rumpun tersendiri yang berbeda dengan bahasa-bahasa lokal yang ada di Indonesia lainnya. Bahasa di Papua dikatakan sebagai rumpun non-Austronesia yang disebut sebagai rumpun Melanesia, sementara itu bahasa-bahasa lokal lainnya di Indonesia masuk ke dalam rumpun Austronesia; (b) berdasarkan makalah yang disajikan oleh Don Flassy dan Marlina Flassy yang berjudul: "Keragaman Budaya Papua dalam Konteks Tradisi dan Budaya Melanesia, Menuju Melanesianologi dan Papuanistik", dinyatakan bahwa yang termasuk wilayah Melanesia itu mulai dari NTT, Maluku, sampai Papua. Yang menarik adalah pelabelan identitas kultural Papua sebagai rumpun Melanesia. Istilah Melanesia sendiri berasal dari bahasa Yunani μέλας melan (= hitam), νῆσος nesos (= pulau), jadi pulau yang didiami oleh orang kulit hitam.
Melanesia dalam konsep mereka adalah sebuah masyarakat yang dari segi bahasa dan budaya tidak termasuk rumpun Austronesia, berbeda dengan bahasa dan budaya etnis lainnya yang terdapat di Indonesia. Perbedaan inilah yang dijadikan ikon perjuangan dan sekaligus pembeda yang dapat menjadi pembenaran bagi upaya pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesai. Oleh karena berbeda identitas kebahasaan, maka wajar jika mereka memisahkan diri dari Negara Kesatruan Republik Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan terjadinya demonstrasi yang mengangkat isu negara bangsa Melanesia Raya. Peristiwa ini terjadi sebulan setelah berlangsungnya konferensi internasional tersebut, tepatnya pada tanggal 14 Desember 2010 di Manokwari (Papua Barat), dan tempat ini belum lama ini menjadi titik awal gelombang demonstrasi massa akibat kasus rasial di Surabaya. Bahkan konsep Melanesia sebagai konsep kultural yang salah satunya bercirikan rumpun bahasa non-Austronesia diperkuat secara keilmubahasaan oleh Schapper (2015) dalam artikelnya: "Wallace, a Linguistic Area", yang dimuat dalam jurnal: Archipel No. 90: 99-151, dengan konsep "Linguistik Melanesia", yang mencakup bahasa-bahasa yang dituturkan di Papua, Papua New Guinea.
Ihwal apa yang diuraikan di atas, merupakan upaya awal mengimplementasikan rekomendasi (a) di atas sedangkan impelementasi rekomendasi (b) dilakukan melalui kegiatan yang berada dalam naungan Melanesian Spearhead Group (MSG) yang beranggotakan empat negara di Melanesia: Fiji, Papua Nugini, Solomon, dan Vanuatu. Salah satu kegiatan yang berhasil dilaksanakan adalah Festival Kebudayaan Melanesia (Melanesian Cultural Festival) yang betrlangsung di Kupang, NTT dari tanggal 26-30 Oktober 2015. Apa yang menarik dari kegiatan ini adalah tempat dilaksanakannya kegiatan tersebut, tentu dengan tidak mengabaikan substansi kegiatannya. Yang menarik, adalah dipilihnya NTT sebagai tuan rumah penyelenggara kegiatan yang melibatkan provinsi NTT, Maluku, Papua, dan Papua Barat sangat bersesuaian dengan ancangan wilayah Melanesia yang dipaparkan dalam makalah Don Flassy dan Marlina Flassy yang menjelaskan bahwa wilayah Melanesia mencakupi seluruh provinsi di kawasan timur Indonesia tersebut. Untuk memberi dukungan ilmiah bagi kesatuasalan secara histori keempat penduduk asli di wilayah itu, panita Festival untuk sesi seminar disiapkan satu subtema, yaitu subtema bahasa: Spreads of Melanesian Language Family. Betapa sistematis, terencana, terukurnya kegiatan itu, cakupan wilayah yang terpisah itu dibalut dengan adanya paparan yang menggambarkan bahwa bahasa-bahasa di kawasan itu merupakan bahasa yang diturunkan dari satu keluarga bahasa. Mengingat bahwa kegiatan ini didukung oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikandan Kebidayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Kementerian Luar Negeri, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan Konferensi yang diselenggarakan 2010 tersebut. Dengan demikian, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan pristiwa penyelenggaraan Festival Budaya Melanesia di NTT tersebut merupakan kegiatan ahistoris, alih-alih untuk mengatakan sebagai bentuk kecelakaan sejarah tahap kedua dalam memandang dan membangun Papua.
Redefinisi konseptual tentang Papua sebagai rumpun Melanesia, yang memiliki ciri: berkulit hitam, berambut keriting, berumpun bahasa non-Austronesia (Rumpun Melanesia) dan wilayahnya mencakupi kawasan timur Indonesia dari Papua sampai NTT merpakan upaya membangun cara pandang masyarakat Papua dalam rangka redefinisi diri sebagai komunitas tersendiri yang berbeda dengan komunitas lainnya di Indonesia baik secara fisik maupun secara kultural, dan geografis. Dilihat dalam konteks keindonesiaan, upaya ini sangat berhasil, terutama di kalangan menengah ke atas. Pernah ditahun 2014, pada acara puncak peringatan Hardiknas yang dilaksanakan di Sorong, penulis berbincang sepintas tentang bahasa-bahasa di Papua dengan Pak Rektor Universitas Papua Barat.
Beliau menyebutkan bahwa bahasa-bahasa di Papua merupakan rumpun non-Austronesia. Pada Acara Mata Najwa, yang berlangsung 21 Agustus 2019, kembali aktivis Papua: Filep Karma menyatakan keberbedaan antara Papua yang Melanesia dengan sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya yang Melayu. Melayu yang dimaksudkan di situ adalah Melayu Polinesia yang dalam terminologi linguistik diakronis dimaksud sebagai istilah yang merujuk pada Austronesia, sebagaimana digunakan Wilhelm von Humboltdt (1836-839) dan Brandstetter (1906). Artinya, dikotomi Melanesia dan Melayu yang digunakan aktivis Papua tersebut identik dengan dikotomi Melanesia versus Austronesia, atau Non-Austronesia versus Austronesia. Begitu masifnya gelombang demonstrasi Massa di berbagai titik di tanah Papua yang menjadi reaksi atas perlakuan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya beberapa hari lalu menggambarkan bahwa sesungguh komunitas Papua telah berhasil meredefinisi diri sebasgai komunitas Melanesia yang di samping memiliki ciri-ciri yang disebutkan di atas. Dalam konteks ini, menjadi dapat dipahami salah satu pernyataan Gubernur Papua: Lukas Enembe, bahwa pembangunan Papua mestinya berpusat pada " Mengindonesiakan orang Papua". Pembangunan yang melulu bersifat fisik tidak akan berhasil mengikis cara pandang mereka yang non-Austronesia itu, yang setiap saat akan menjadi bom waktu yang akan selalu siap dijadikan ikon perlawanan untuk meminta pemisahan diri. Pembangunan yang melulu fisik tak akan mampu membuat masyarakat Papua, menjadi bagian yang integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengalaman pahit sudah pernah dialami, ketika Timor Timur menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia berhasil membangun secara fisik walaupun belum maksimal, membangun SDM dengan mengirimkan generasi muda Timor Timur ke kemapus-kampus ternama di Indonesia untuk menempuh pendidikan, namun karena gagal membangun ikatan emosional mereka pada Indonesiua, maka dengan mudah mereka beralih pandangan pada referendum yang dilakukan pada masa Presiden Habibie. Dalam konteks itu pula menjadi dapat dipahami bahwa membangun Papua di samnping membangun fisik juga yang jauh lkebih penting adalah mengindonesiakan orang Papua. Pekerjaan ini menjadi sangat berat di tengah kondisi redefinisi diri orang Papua sebagai orang berunmpun Melanesia yang non-Austronesia sedang dan akan terus berlangsung dengan mentransmisikannya dari satu generasi ke generasi Papua berikutnya.
Diperlukan pendekatan kultural, salah satunya pendekatan kebahadsaan untuk mengubah cara pandanag (mindset) mereka. Hal itu harus dilakukan secara simultan, terencana, terarah, dan terukur dengan pembangunan bidang lainnya. Namun, apakah sudah tersedia bukti-bukti yang bersifat saintifik untuk melawan pola pikir kultural yang Melanesia non-Austronesia tersebut., pembahasan hal ini akan disajikan dalam topik khusus dengan judul: "Papua: Melanesia atau Austronesia?" yang merupakan bagian yang integral dengan artikel ketiga "Papua yang Austronesia: Memulai Pembangunan dari Tanah Leluhur Bangsa Indonesia" (menyusul).