Oleh : Suherman
Penulis adalah peminat urusan pemilu
Opini-Paska Pemilu Serentak 2019, Kita akan dihadapkan pada Pilkada Serentak yang akan diselengarakan pada Rabu, 23 September 2020.
Pilkada sejatinya bukan saja urusan kandidat dan elit partai politik. Ia juga menjadi urusan publik (Baca: Masyarakat). Karena sejatinya ujung atau hasil dari Pilkada adalah kesejahteraan publik.
Sebelum tahapan, program dan jadwal ditetapkan KPU dan sebelum memasuki masa pencalonan. Setidaknya dua hal yang harus dikritisi kepada bakal calon dan partai politik.
Pertama, agar bakal calon membangun politik gagasan bukan mengobral politik kemasan. Kedua, agar partai politik melakukan rekrutmen bakal calon secara demokratis dan terbuka.
Politik Kemasan Dan Gagasan
Pilkada sejatinya sebagai sarana bagi pengejewantahan gagasan para bakal calon yang dibungkus dalam visi, misi dan program untuk kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya.
Yang dikonsepkan secara sistematis, terencana dan terukur. Bukan sesuatu yang dibuat secara tiba-tiba, seadanya dan secara sporadis.
Idealnya sejak bakal calon berniat menjadi kepala daerah, maka sejak itulah didalam "otaknya" sudah ada gagasan besar yang akan diaktualisasikan untuk daerahnya di saat ia memimpin.
Sayangnya, publik belum melihat gagasan besar itu dikonsepkan dan disampaikan secara lisan maupun tertulis oleh bakal calon atau setidaknya tim suksesnya diruang publik.
Memang sejatinya secara hukum dan politik, Visi, misi dan program itu akan disampaikan secara tertulis ke KPU dan akan didebatkan. Namun secara etis, publik juga harus disuguhkan sejak awal.
Namun sayangnya, publik baru disuguhkan oleh selfie-selfie, nyanyi-nyanyi dari panggung ke panggung dan pose-pose di sosila media. Yang dalam terminologi penulis kesemuanya merupakan politik kemasan.
Rekrutmen Bakal Partai Politik
Salah satu syarat pencalonan adalah diusulkan oleh partai politik yang memiliki kursi di DPRD.
Idealnya partai politik melakukan proses rekrutmen yang demokratis dan terbuka sebagaimana amanat pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik.
Namun sayangnya, proses-proses demikian tidak dilaksanakan. Tiba-tiba publik dihebokan bahwa partai politik telah mengusulkan bakal calon tertentu.
Ini mensiyalir dan sudah menjadi rahasia umum kalau tidak mau dikatakan fakta bahwa proses pengusulan bakal calon tidak dilakukan secara demokratis dan terbuka sebagaiamana amanat Undang-undang.
Semua dilakukan secara diam-diam pada tataran elit partai politik dan dibawah meja, penuh intrik, lobi-lobi politik dan dengan transaksional (Baca : mahar).
Melihat fenomena politik diatas setidaknya ada beberapa hal yang dilakukan publik (Pemerhati, Media, Aktivis dan Masyarakat Sipil lainnya) sebagai bentuk partisipasi publik.
Pertama, mengusulkan atau merekomendasikan nama-nama bakal calon yang dianggap mampu dan layak memimpin daerahnya kedepan kepada partai politik yang memperoleh kursi di DPRD. Agar bakal calon ini dapat mengikuti proses rekrutmen/seleksi secara adil di partai politik.
Meskipun telah ada beberapa nama bakal calon namun baru dilemparkan di jagat sosial media. Disamping itu, idealnya ia juga harus dilemparkan (diusulkan) ke partai politik.
Kedua, baru kemudian mendorong partai politik agar transaparan, selektif dan partisipastif (melibatkan publik) dalam melakukan rekrutmen bakal calon yang akan direkomendasikannya sesuai amanat undang-undang. Agar lahir bakal calon yang nantinya dipilih masyarakat yang bukan saja memiliki "isi tas" namun juga memiliki integritas dan kapasitas.
Ketiga, meminta bakal calon agar gagasan besar (Visi, Misi dan program) dikonspekan dan disampaikan kepada publik baik secara lisan maupun tertulis. Agar bakal calon dimanapun ia berada, selain menujukan citra diri (kemasan). Idealnya ia juga harus menunjukan gagasan.
Kita jangan berharap lebih pada proses dan hasil Pilkada yang dilewati melalui proses-proses transaksional dan proses politik kemasan yang hanya menampilkan pencitraan.
Dalam gubahan kata bijak penulis mengatakan merajalelanya para "pencari" kekuasaan yang tanpa gagasan karena pemberi kuasa (pemilih) memilih diam (Tidak berpartisipasi).