Oleh:
Waliyyul Ahdil Islam
(Penghulu
pada KUA Kecamatan Dompu)
Setelah
diluncurkannya SIMKAH Web oleh Kementerian Agama yang telah terintegrasi dengan
SIAK Kementerian Dalam Negeri dan SIMPONI Kementerian Keuangan, serta
kepengkapan persyaratan administrasi pencatatan pernikahan. Pada tulisan kali
ini ada beberapa hal yang ingin kami bahas sebagai bentuk penyiaran informasi
dan sosialisasi.
Pentingnya
pencatatan nikah ini dilakukan karena adanya kebutuhan secara administratif
maupun secara hukum serta sebagai bukti otentik tentang peristiwa sejarah yang
melekat pada seseorang. Juga berkaitan dengan keperluan pengurusan administrasi
lainnya, misalnya untuk pemisahan Kartu Keluarga, Penerbitan Akta Kelahiran
Anak, Perubahan status pada KTP, pembuatan Pasport dan lain sebagainnya.
Ada beberapa
kasus yang terjadi di tengah-tengah kita terkait dengan masalah munakahat atau
yang lebih akrab dengan istilah pernikahan, yang mana umumnya terjadi adalah;
1) pernikahan yang tidak dicatat oleh PPN, 2) pernikahan yang dihadiri oleh P3N
(Pembantu Pegawai Pencatat Nikah) tetapi tidak diserahkan berkas nikah kepada
PPN sehingga nikah tidak tercatat, 3) nikah yang kedua dan seterusnya oleh
suami dengan wanita yang lain atau poligami tidak berizin dari Pengadilan
Agama.
Umumnya tiga
persoalan ini yang muncul dimasyarakat yang dikategorikan dengan berbagai
alasan dan faktor. Adapun faktor-faktor dan alasannya antara lain:
1. Pernikahan yang tidak dicatat oleh PPN
karena calon pengantin atau keluarga yang ingin melaksanakan pernikahan sudah
mengetahui bahwa nikah tersebut memiliki kekurangan sehingga PPN menolak
pernikahan tersebut, misalnya kurang umur bagi calon pengantin sehingga
inisiatif keluarga melaksanakan akad nikah dengan tidak diawasi oleh petugas
PPN atau P3N.
2. Pernikahan dibawah umur tersebut sudah
dilakukan penolakan oleh KUA Kecamatan, tetapi yang bersangkutan tidak
mendaftarkan penolakan tersebut kepada PA dan tidak mengikuti siding
dispensasi, tetapi memilih mengadakan akad nikah sendiri.
3. Pernikahan yang dihadiri oleh P3N tetapi
tidak disetorkan kepada PPN, atau peristiwa nikah tersebut dilaporkan ke PPN
tetapi setelah di lakukan pemeriksaan ternyata terdepat kekurangan untuk
melengkapi berkas tersebut tidak dilakukan oleh P3N sehingga peristiwa nikah
tersebut tidak dicatatkan.
4. Pernikahan poligami oleh suami yang tidak
berdasarkan ijin Pengadilan Agama.
Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan sebagai lembaga pelaksana dari Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan pendukung lainnya, seperti pengawasan
dan pencatatan perkawinan bagi anggota TNI/POLRI dan PNS/ASN, tentu menghadapi
berbagai persoalan. Dan umumnya permasalahan yang terjadi adalah pelanggaran
dari pada peraturan perundang-ungangan tersebut.
Kembali ke
topik yang kita bahas, lantas bagaimana untuk menyelesaikan kasus-kasus
pernikahan yang tidak tercatat di KUA Kecamatan tersebut? Dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tepatnya pada Pasal 49 ayat (1) Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah.
Dengan adanya
dasar tersebut, maka persoalan perkawinan yang tidak tercatat pada KUA
Kecamatan oleh PPN penyelesaiannya di Pengadilan Agama melalui proses sidang.
Proses sidang atau yang lebih dikenal dengan sidang itsbat, ini tentu ada
beberapa persyarakatan yang disiapkan secara administrasi oleh pemohon
disamping persyaratan lain yang diminta oleh Pengadilan Agama, yaitu Surat
Keterangan Pernah Menikah dari Lurah/Desa, Surat Keterangan Nikah Tidak
Tercatat dari KUA Kecamatan dan melengkapi berkas lainnya. (lihat tulisan
sebelummnya berjudul: Pelayanan Nikah Di KUA Kecamatan Dompu Berbasis Web)
Penyelesaian
masalah perkawinan ini oleh Pengadilan Agama yang sudah memiliki kekuatan hukum
tetap umumnya ada dua; yaitu yang pertama, sidang tersebut memenuhi permohonan
pemohon untuk mencatatkan perkawinan di KUA Kecamatan, dan yang kedua memenuhi
permohonan pemohon untuk bercerai dengan diterbitkannya Akta Cerai (AC).
Lantas
bagaimana dengan persoalan yang ketiga (Pernikahan poligami oleh suami yang
tidak berdasarkan ijin pengadilan)? Masalah ini biasanya ditolak oleh
Pengadilan Agama untuk dilakukan persidangan karena biasanya yang bersangkutan
telah mengetahui bahwa pernikahan tersebut telah melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Persoalan
poligami yang ditangani atau yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama adalah
berdasarkan Pemohon mengajukan surat tanda persetujuan dari istri pertama
sehingga pemohon dan istri ini dipanggil oleh mejelis hakim untuk dimintai
keterangan. Dengan mengacu kepada UU. Nomot 1 tahun 1974 Pasal 3 ayat (2)
Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Untuk lebih
jelasnya pembahasan ini akan kami hadirkan pada tulisan berikutnya.
Demikian
tulisan singkat yang dapat kami sampaikan pada edisi kali ini, semoga
bermanfaat dan memberi informasi kepada masyarakat. Wallahu a’alam, Wassalam.